Malam ini, seperti puluhan malam yang pernah lewat, kami ada di BD, tempat yang biasa kami sebut untuk arena terbuka di tengah perumahan Bumi Darliyah.
Rasanya damai berada di sini, duduk di atas hamparan tanah beralasan terpal warna biru, dekat dengan pepohonan besar-besar yang tidak pernah menolak untuk dipeluk kapan saja—anakku kuajari memeluk pohon dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyerap energi positifnya.
Aku tak sabar ingin bercerita pada Andre tentang kedatangan Momom, tadi siang. Kutunggu hingga dia selesai menaruh bawaan, termasuk tas ransel yang tidak pernah ketinggalan—tas itu berisi obat-obatan yang dia bawa untuk berjualan.
"Hari ini pendapatan agak kurang, Sayang. Gua cuma dapat seratus ribu," katanya.
"Nggak apa-apa, disyukuri aja. Seratus ribu itu lebih dari cukup buat hari ini. Kan, stok masih banyak," kataku menguatkan.
Aku kagum pada keuletannya mencari nafkah, juga mentalnya yang teruji di tengah panas terik atau hujan deras dalam keadaan tubuh yang sudah tidak prima, kadang tak makan seharian.
Andre berkali-kali menerima penolakan secara kasar, bahkan sampai ada yang mengacungi celurit segala karena Andre tidak sengaja melihat pemilik warung sedang "bermain" dengan istrinya di balik etalase. Salah sendiri, tetapi Andreku yang jadi sasaran. Sebal mendengar cerita semacam itu.
"Ini, buat kamu lima puluh, sisanya buat kita jajan malam ini," katanya bangga.
Aku senang melihat Andre berhasil memberikan uang hasil keringatnya. Bagaimanapun juga, harga diri seorang laki-laki memang terletak pada caranya bekerja, bukan jenis pekerjaannya—dalam hal itu Andre sudah terlatih sejak masa putih abu-abu.
"Mbak. Minta seblak yang kayak biasanya, ya, satu aja, terus, es tehnya dua. Kayak biasa, nggak terlalu manis," kata Andre kepada penjual seblak.
"Mas. Momom tadi siang ke rumah. Dia ada tanya soal kamu," kataku
"Terus, kamu bilang apa?" Andre tampak santai, tidak melihat ke arahku, melainkan ke ponselnya.
"Ya kujawab apa adanya."
Kuceritakan secara detail apa yang Momom katakan padaku, termasuk tanggapannya tentang hubungan kami. Entah Andre ingat atau tidak tentang perkataanku mengenai izin dari Momom, tetapi dia tampak cuek, seperti tidak sedang menyimakku.
Balasan chat dari Ziva masuk. Dia juga merasa aneh, kenapa tiba-tiba Momom mengizinkan, tidak, maksudku, bukan mengizinkan, tetapi tidak melarang aku menikah lagi, sedangkan Tuhan tidak mungkin "melanggar" firman-Nya. Ziva malah menyuruhku meminta tanda lagi dari Tuhan.
Aku ingin melanjutkan ceritaku, tetapi Andre malah semakin serius dengan ponselnya.
"Mas. Lagi ngapain, sih? Kamu nggak dengar, ya, ceritaku? Nggak penting banget apa gimana, sih?" tanyaku kesal.