Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #27

Keputusan Besar

Desember 2023

Seminggu sudah aku menjalani hari-hari tanpa Andre sejak akhir November lalu. Sudah kublokir nomornya, lagi dan lagi, tetapi kali ini aku bersumpah akan mengakhiri semuanya. Aku sudah bicara pada Mbak Dessy. Kukatakan padanya aku menyerah. Aku tidak sanggup menghadapi kelakuan Andre yang kian lama kian mengimpit perasaan.

Mbak Dessy berbeda dengan Mbak Shanty, kakak sulung Andre, yang terlampau subjektif dalam memberikan penilaian. Percuma aku bicara, dia pasti akan membela Andre.

Itulah sebabnya aku bicara pada Mbak Dessy.

Kukatakan pada orang yang memanggil Andre "Didy", melalui sambungan telepon, bahwa aku sudah tidak sanggup menghadapi sikap adik iparnya yang mendominasi, bahkan seolah mengendalikan hidupku dan mengaturnya sesuai dengan apa yang dia mau, tanpa peduli perasaanku.

Mbak Dessy malah mengungkap sisi lain kekasihku yang sungguh tidak kuketahui sebelumnya. Andre adalah orang yang jorok dan tidak berdisiplin. Jauh berbeda dengan Mas Rian yang segalanya serba pakai aturan—dan aku melihat kedisiplinan dan keteraturan ada di tengah keluarga yang kekayaannya tetap stabil bahkan terus bertambah itu.

"Didy itu kayak nggak punya visi. Nggak bisa dikasih tahu yang benar. Hidupnya isinya cuma foya-foya aja. Jauh sekali dengan Mas Rian. Apa-apa serba tertib, pakai aturan. Repot kamu nanti kalau nggak bisa bilangin dia," tegas Mbak Dessy.

Kalimat itu terus terngiang di telinga. Mbak Dessy dulu juga pernah ikut membesarkan Andre sejak SMP. Dia tentu tahu betul sifat dan tabiat laki-laki berzodiak Gemini itu. Kalau begitu, bagaimana nasib keluarga yang dia tinggalkan di Pematangsiantar? Apa sebenarnya penyebab perceraiannya? Apakah mungkin hanya soal ranjang?

Mendadak aku merasa asing dengan sosok Andre. Ada banyak rahasia yang tidak kuketahui tentangnya. Ada banyak kemungkinan tentang siapa dia yang mungkin baru akan kupahami setelah kami satu rumah.

Aku jelas tak ingin salah pilih untuk kedua kalinya. Biar saja begini dulu, karena hatiku sampai saat ini masih mati suri. Tak ada cinta. Yang ada justru dendam dan penyesalan. Andre sanggup berbuat jahat. Dia licik.

***

Hari-hariku kembali hampa. Aku sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah Cio ketimbang pulang pergi untuk antar jemput. Di rumah pun tak ada yang membuatku senang. Aku kesepian, tetapi tetap tak ingin kembali.

Di sini, di ruangan bermain anak yang tidak pernah ramai sebelum jam istirahat, aku menumpahkan air mataku, dan mengurai kesesakan di dalam dada—ayunan dan perosotan jadi saksi. Air mata ini bukan air mata rindu, tetapi lebih kepada perenungan nasibku yang belum juga mapan di usia kepala empat.

Cio sebentar lagi ulang tahun yang ke-6. Tak terasa, sudah mau dua tahun anak ini tumbuh bersama Andre walau sepuluh hari belakangan orang itu tak bersama kami. Aku ingat, tahun lalu, ketika Cio berulang tahun, Andre datang membawa kado besar dan mahal. Mobil buggy remote control warna merah. Aku juga dapat kado baju lengan panjang warna ungu.

Sekarang Andre tak lagi datang. Entah dia malu atau merasa bersalah sudah menghancurkan cita-citaku di dunia literasi, atau dia sudah menemukan tambatan hati yang lain, aku tidak tahu. Sebab, di daftar chatnya masih banyak wanita yang menyapa dan menggoda. Aku membacanya sendiri dari ponselnya, tetapi tidak keras bereaksi seperti dia. Bagiku, hati pasanganku tertuju padaku, itu sudah cukup.

Hari ini ada perayaan ulang tahun teman Cio. Aku memfoto dekorasi dan kue serta snack box yang sudah tersusun rapi di ruangan senam. Sengaja kukirimkan gambar-gambar itu kepada Ayah Vino, mertuaku. Kukatakan padanya, Cio ingin perayaan ulang tahun yang seperti itu juga. Biayanya kurang lebih satu juta. Tak kusangka beliau menyetujuinya dan langsung mengirimiku uang sejumlah itu, padahal ulang tahun Cio masih lama.

Panggilan telepon. Kukira Andre, ternyata Ayah Vino. Oh iya, lupa. Nomor Andre masih kublokir.

"Halo, Ayah."

"Ya, Nduk. Ayah mau bicara. Kamu lagi sibuk ndak?"

"Enggak. Lagi tunggu Dede di sekolah. Kenapa, Yah?"

"Begini. Kamu mau ndak, tinggal di Sleman?"

Jantungku berdegup kencang. Sleman? Itu adalah kampung halaman ibu kandung Vino, juga tempat di mana Vino dibesarkan. Apakah ini jawaban Tuhan? Apakah Dia akan memulihkan keluargaku? Mengapa mendadak sekali? Baiklah.

Lihat selengkapnya