Akhir pekan datang lagi. Kali ini kami nekat ke rumah Kosambi naik sepeda motor. Perjalanan mau makan waktu hampir dua jam karena kami banyak melipir untuk beristirahat dan jajan.
Ada satu minuman yang jadi kesukaan kami di perjalanan, es kopyor, es yang dicampuri sirup merah dan susu kental manis serta kopyor buatan itu selalu jadi sesuatu yang kami tunggu untuk dinikmati sambil beristirahat di tepi persawahan. Sejak masih pakai mobil, kami sudah sering beli es kopyor.
Ada satu lagi yang tak pernah absen kami beli tiap kali pulang dari Kosambi. Siomay lima ribuan. Adanya di pom bensin. Sebenarnya adonannya lebih mirip cilok karena tidak ada bau ikan di tiap gigitannya, tetapi campuran bumbu beserta lada dan ketumbarnya memunculkan rasa dan aroma yang nikmat.
Rumah di Kosambi sudah direnovasi dan layak untuk ditempati. Hanya saja, ada kebocoran di sana-sini, juga ada tumbuh pohon di kamar mandi luar yang menempel di tembok dan meruntuhkan keramik. Andre bilang itu pohon beringin.
Rumah dan perabotan yang laki-laki didominasi oleh warna ungu ini nyaman untuk di tinggali, tetapi, suasananya agak menakutkan di malam hari. Mungkin karena rumah ini tidak pernah ditempati lagi semenjak Andre putus dengan Wati.
Saat ini, aku sedang berada di rumah paling ujung dengan pagar besi hitam yang tingginya bergelombang untuk bersih-bersih. Aku sendiri sudah beberapa kali datang ke sini dan telah mengenal beberapa tetangga.
Aku sedang menunggu hujan berhenti. Jangan sampai kami bermalam di sini, sebab aku sama sekali tidak berani—hal ini tidak berlaku bagi Andre. Dia pemberani, bahkan setan pun diomeli.
Kami duduk di teras. Cio asyik memainkan game di ponsel Andre, sementara aku mengejar seribu kata untuk pekerjaan ghost writer sambil mengobrol tentang masa depan, tetapi sebentar-sebentar Andre sadar bahwa aku akan meninggalkannya ke Sleman.
"Sayang," panggil Andre. Nada bicaranya melembut. Dia menciumi bahuku. "Papi kangen."
Aku paham betul kalau suara Andre jadi pelan-pelan seperti itu. Kubiarkan dia bermain-main dengan imajinasinya. Jemarinya perlahan merayapi bagian depan tubuhku. Aku terhanyut. Kulirik dia yang napasnya mulai memburu. Dia pun menyambar bibirku dengan ciuman manis dan membangkitkan hasrat.
"Sayang," bisiknya.
"Iya, Sayang," sahut sambil terus mengetik.
"Ke kamar, yuk," ajaknya dengan gestur yang kacau dan wajah yang gelisah.
Kuturuti ajakannya dengan berdiri, lalu berjalan meninggalkan Cio yang sedang asyik sendiri. Andre mengikutiku dari belakang hingga ke dalam kamar. Dia mengunci pintunya pelan-pelan agar Cio tidak menyusul dan memanggil mamanya.
Andre menangkap tubuhku dari belakang, membalikkannya sehingga kami berhadapan. Lalu, dia mengangkat daguku dan menyambar bibirku. Setelah beberapa saat, entah kenapa Andre menghentikan perbuatannya.
"Kenapa berhenti?" tanyaku yang sudah setengah jalan.