Juni 2024
Tiba sudah hari perpisahan Cio. Andre berhasil meminjam mobil temannya untuk mengantarkan aku dan Cio ke restoran ayam goreng di dekat perumahan elite Grand Harmony, sekalian kumpul-kumpul di rumah teman, dan sorenya mampir ke rumah Mas Rian untuk mengambil barang-barang, sebab nantinya Andre yang akan menempati lagi rumah Mami kalau aku dan Cio sudah tinggal di Sleman.
Cio tampak ceria ditunggui oleh papinya di balik dinding kaca, sebab para ayah dilarang masuk ke ruangan karena keterbatasan tempat—belum ada yang tahu kalau Cio bukan anak kandung Andre. Bahkan, pernah ada yang bilang bahwa wajah Cio adalah cetakan wajah ayahnya, ketika kami sedang jajan takoyaki. Ternyata penjualnya adalah mama Zein, teman sekolah Cio.
Dari dalam ruangan kaca, aku memperhatikan Andre yang sedang asyik mengobrol dengan ayah-ayah lain. Aduh. Aku lupa janjian dengannya bahwa aku mengakui Cio sebagai anak satu-satunya. Para ayah itu pasti akan kaget ketika mereka tahu bahwa keteranganku dan keterangan Andre tidak sinkron. Sudahlah.
Aku yakin di antara mereka juga sudah banyak yang menangkap kejanggalan ceritaku, sebab sebelumnya aku menggambarkan Vino sebagai ayah Cio, sesuai dengan keterangan pada kartu keluarga yang kupakai saat mendaftar sekolah.
Aku sempat menjelaskan bahwa Ayah Vino adalah anak sulung dari sebuah bersaudara, bahwa kampung halamannya adalah di Kebumen, bahwa dia masih punya ayah dan sudah tak punya ibu, bahwa pekerjaannya di luar kota, bahwa kakeknya Vino masih produktif di usia tua dan berniat membuatkan rumah di Sleman untuk Gracio, cucu satu-satunya.
Mungkin aku ada salah bicara, tetapi seingatku, aku menutupi kenyataan bahwa Andre adalah yatim piatu dan bungsu dari lima bersaudara, bukan seperti keterangan yang ku berikan sebelumnya. Mana kutahu kalau seiring berjalannya waktu, ternyata Andre bisa kumunculkan di sekolah, atau lebih tepat lagi kalau kukatakan dialah yang memunculkan diri.
Ya. Andre sempat beberapa kali datang ke parkiran motor sekolah, di mana ada banyak ibu-ibu yang menunggui anaknya. Ada satu ibu yang bertanya apakah itu suamiku, dan kujawab "ya". Masakan kubilang itu pacarku?
Lalu, dia bertanya lagi, apakah keyakinannya sama denganku, lagi-lagi kujawab "ya". Beberapa detik kemudian aku berpikir, mengapa dia bertanya seperti itu? Jangan-jangan ia pernah melihat Andre di salah satu masjid ketika dia sedang berjualan obat.
Masa-masa kamuflaseku benar-benar berakhir ketika di bulan Maret lalu aku mengajak Andre berbuka puasa bersama di rumah salah satu orang tua murid. Ya. Mereka yang tahu kami non muslim telah menyebut nama kami di dalam pidato ustaz yang juga tuan rumah.
Entah apa yang Andre obrolkan dengan Pak Ustaz dan bapak-bapak lain, mungkin pada saat itu dia mengakui bahwa dirinya adalah seorang muslim. Pasalnya, ketika bapak-bapak hendak pergi ke masjid untuk salat Magrib, Andre pun ikut. Di situlah mereka semua terkejut, dan aku, aku hanya bisa tertunduk. Malu, juga merasa bodoh. Kenapa tidak kukatakan saja terus terang? Lagi pula, siapa yang peduli bahwa kami berbeda?
Aku mengirim pesan pada Andre, menanyakan apakah yang mereka obrolkan di luar sana. Ternyata benar, mereka menanyakan jumlah anak di samping apa pekerjaan yang sedang digeluti—obrolan khas bapak-bapak.
Saat kutanya dia menjawab apa, Andre bilang, jawab apa adanya, empat, karena memang anaknya empat, termasuk Cio.
Aku sudah bisa membaca siapa-siapa saja yang suka bergunjing di belakangku, dan aku menduga gosip tentangku semakin heboh di antara mereka, apalagi bahan gosipnya ada di depan mata.
Saat ini aku merasa beruntung karena sebentar lagi akan pergi jauh dan tidak bertemu dengan mereka lagi. Pikirku, gosip tentang kami pasti akan memudar. Biarlah. Aku tidak merasa perlu menjelaskan kepada semua orang tentang apa dan bagaimana kami.