Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #31

Sleman, Aku Datang!

Telah begitu banyak cerita terjadi di Bekasi, di desa Tambun, di perumahan lawas Bumi Sejahtera, di rumah kami, di hatiku. Semua tentang Andre dan kami sebagai dunianya, juga tentang kami dan Andre sebagai dunia kami. Namun, hari ini semuanya berakhir. Hanya air mata Andre yang terus berjatuhan. Tidak denganku. Aku kuat. Ini harus kujalani, sesuai dengan kesepakatan yang kubuat dengan Ayah Vino.

Rey dan Wina, istrinya, ikut mengantarkan kepergianku. Mereka ikut sampai ke Sleman. Mama juga ikut—itu permintaan Andre, anak kesayangannya.

Kami sudah pergi ke gereja untuk minta didoakan. Ah. Sedih rasanya. Momom terus saja menangis sejak tahu aku akan meninggalkannya. Entah karena rasa sayang, atau karena aku masih dibutuhkan sebagai pemain piano atau gitar di gereja.

Semenjak membuka gerbang, wajah oriental Momom tampak merah. Matanya sembab. Suaranya terbata-bata. Dia menyuruh kami duduk di bangku paling belakang sementara menunggu Papap Baru turun dari pastori. Kami menarik beberapa kursi dan duduk berjejer. Aku diapit oleh ibuku di sebelah kiri, dan Andre di sebelah kanan.

"Apa Andre mengizinkan Vena berangkat? Apa kamu ikhlas melepaskan Vena sendirian di sana? Momom takut Vino datang lagi, dan menyiksa dia lagi, seperti dulu." Mata Momom tertuju pada Andre yang duduk di seberangnya.

Andre tak langsung bicara. Sepertinya dia mengatur dulu emosinya. Mengusap wajah sebentar. "Saya bisa bilang apa, Tante. Sekuat tenaga saya melarang, dia tetap akan pergi, katanya sambil mengelus dada.

"Momom harap kamu nggak lama-lama di sana. Cepat kembali. Tambun adalah rumahmu. Gereja ini rumahmu. Bawa kabar baik dari sana, ya, Sayang." Momom terisak. Mama juga. Andre juga. Aku tidak. Agaknya Tuhan memang telah menguatkanku.

Papap Baru sudah datang. Beliau langsung mengajak kami melipat tangan dan menutup mata, lalu kami berdoa. Dalam doanya Papap meminta agar diberikan jalan terbaik untukku, juga Andre—beliau tidak setuju kami jalan terus, kecuali Tuhan membukakan jalan—dan supaya perjalanan kami menuju Sleman lancar hingga kembali ke Bekasi.

Kami berangkat pukul 21 dengan mengendarai mobil 2600cc milik teman satu klub Andre. Mataku tak lepas mencuri pandang pada laki-laki gagah di sebelah kananku. Sudah kukatakan bahwa Andre tampak lebih tampan jika dilihat dari samping. Bibir dan dagunya yang lancip dengan ujung membulat dan maju membuat tanganku gatal, ingin selalu menyentuhnya.

Lagu-lagu dari White Lion menemani perjalanan kami. Kursi tengah yang berdesain captain seat membuat ibuku dan Wina nyaman. Sementara itu Rey menguasai bangku belakang. Rey adalah bungsu, adiknya Yos. Dia dan Wina belum dikaruniai anak. Dari semua saudaraku, dialah yang paling mirip dengan Cio, sama-sama suka garuk kepala kalau kepedasan, sama-sama tak suka pakai sandal jepit dan celana jeans, juga sama-sama suka bicara sendiri.

Mobil terus melaju hingga dua per tiga malam berlalu, penatlah malaikatku. Dia yang masih mau menolongku walaupun hatinya tergores sudah tak kuat lagi menginjak gas. Dia butuh istirahat. Kami melipir di pom bensin, mematikan mesin mobil, membuka sunroof, dan memejamkan mata.

Andre memilih keluar dari mobil untuk tidur beralaskan tikar di area mesin ATM, di udara terbuka. Entah tikar dari mana dan siapa pemiliknya. Yang jelas, di dekat mereka ada satu bapak-bapak yang sedang tidur pulas. Cio yang hampir tak bisa tidur ikut turun dan ikut tidur di samping papinya. Melintas sebaris kesedihan di hatiku. Sebentar lagi anakku akan menjalani hari-hari tanpa "ayah" untuk kedua kalinya.

[Ma, Dede ngajakin tidur di ATM, enak katanya, dingin.] Andre sempat mengirim pesan.

[Ha ha ha. Ya udah, sana.] balasku. Setelah itu aku lupa segalanya.

***

Lihat selengkapnya