Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #33

Aku Sakit

Agustus 2024

Sebulan berlalu. Apakah aku merasa nyaman? Tidak! Tentu tidak. Apa yang sebenarnya kucari? Masa depan anakku? Pastinya. Namun, aku hancur. Setiap hari aku merindukannya. Anakku juga. Dia kerap terbangun di tengah malam, dan sekarang bukan lagi Papa yang dia cari, melainkan Papi.

Satu lagi. Ada hal terburuk yang belum pernah terjadi. Satu tempat terseram yang harus kutiduri, IGD! Ya. Instalasi Gawat Darurat di satu rumah sakit.

Aku tidak merasa ada yang salah dengan tubuhku, hanya memang aku masih harus menyesuaikan diri dengan semua kondisi di sini—makanan yang serba manis, cerewetnya mulut si Mbah, menyapa setiap orang yang muncul di depan mata, sok akrab dengan semua orang, bahasa Jawa yang sulit dipahami walau aku asli Semarang, tangis anakku karena di-bully, dan banyak hal yang tadinya ada jadi tiada.

Hari Minggu, hari di mana aku seharusnya pergi ke gereja bersama saudara seiman, hari itu aku merasakan sakit yang belum pernah kualami sebelumnya, dan aku tak tahu bagaimana mengatasinya. Pukul 3 pagi, perut ini sesak, seperti dimasuki balon berisi air. Aku terbangun karena tak bisa napas—aku bisa menarik napas dalam-dalam, tetapi untuk membuangnya tidak bisa. "Balon" itu menghalangiku.

Tanpa bisa dicegah atau dilawan, aku muntah-muntah hebat, dan itu tidak membuat perutku lega, justru semakin terasa penuh dan sakit untuk digerakkan.

Aku sudah membayangkan hal terburuk. Mati. Saat itu tak ada yang kupikirkan kecuali bagaimana agar aku bisa bernapas lagi. Fitri, sepupu Vino, sibuk menelepon sana sini untuk mencari dokter praktek, tetapi nihil. Puskesmas juga tutup. Lalu, dia mendapat informasi bahwa tiga kilometer dari rumah ada dokter praktek yang hati Minggu pun tetap buka. Fitri lantas mengupayakan agar aku bisa diantar ke sana dengan menggunakan ojek online karena dia tidak bisa mengendarai sepeda motor.

Ojek online pun datang setelah 15 menit menunggu dalam posisi berbaring miring ke kiri atau ke kanan, sebab untuk tidur telentang aku tidak bisa. "Balon" itu seakan kian mengimpit dan menekan. Susah payah aku bangun dan berjalan. Rasanya lemah sekali, juga mengantuk.

Fitri menyusulku dengan membonceng temannya yang sedang hamil besar, sambil membawa dua anak lainnya—jadi, mereka berboncengan berempat, malah berlima dengan yang di dalam perut—aku belum sempat berterima kasih padanya.

Sayang, kliniknya tutup. Ternyata jam prakteknya hanya dari pukul 05.30 sampai 06.30 pagi. Aku terlambat datang. Hanya ada apotek yang masih beroperasi di sebelah kanannya. Mau tak mau, aku menurut saja ketika kepadaku diberikan obat sirup berwarna merah muda, juga satu tablet obat yang bisa diminum sebelum makan.

Fitri masih menelepon sana-sini untuk mencari informasi—dia pun belum lama ada di Sleman, baru beberapa tahun sejak kedua orangtuanya meninggal di Sulawesi.

Aku meminta izin untuk berbaring di ruang tunggu. Pintunya persis di sebelah etalase obat. Untunglah penjaga apotek mengizinkan.

Kursi besi warna hitam yang berjejer lima itu membantuku untuk menenangkan diri. Kali itu tak bisa tidur miring, melainkan menelungkup.

"Mbak. Ke IGD aja langsung, ya," ajak Fitri.

"Aku nggak bawa uang," sahutku, sebab uang yang kubawa sudah habis untuk membayar dua obat yang sudah kuminum.

Lihat selengkapnya