Dia Pergi

Dina Ivandrea
Chapter #34

Dia Pergi

Bulan ini adalah bulan penuh air mata. Kegelapan yang paling hitam menabrak jalanku. Kesakitan yang paling dalam menimpa kepalaku. Kesedihan yang paling perih mengoyak ragaku. Tak ada kata yang bisa menggambarkan betapa buruknya keadaanku sejak tanggal beringsut dari satu ke dua.

Dia pergi! 

Beri aku ruang untuk meratap.

Adakah yang lebih berat dari sebuah beban? Itulah yang kupikul sekarang. Ya. Entah apa yang harus kuceritakan. Aku sengaja menunggu akhir bulan untuk mendapatkan keajaiban. Nyatanya aku malah terbangun dari mimpi.

Tak ada cerita lagi, sebab dia memang telah pergi.

"Andai anak-anak gua datang, apa lo mau menerima?" Itu adalah kalimat terakhir Andre sebelum kami terus bertengkar dan mengakhiri semuanya.

"Apa mereka mau datang?"

"Andai," katanya.

Nyatanya, mereka benar-benar datang untuk menjemput Andre pulang.

"Baby sakit. Udah seminggu di rumah sakit. Kondisinya kritis dan terus panggil papinya. Gua udah tanya semua kakak gua dan mereka nyuruh gua pulang atau gua akan menyesal seumur hidup." Itu alasannya, tetapi, tunggu bagian selanjutnya.

Andre ada di bandara untuk menjemput kedua anak laki-lakinya.

"Papi kangen." Itu adalah kata rindu terakhir sebelum dia menyisihkanku demi mereka yang datang. Lalu, dia menghilang hingga tengah malam. Tak ada pesanku yang dibalas, tak ada panggilanku yang direspons. Siapa tak meradang?

[Lagi ngobrol sama anak-anak. Lagi dengar cerita mereka. Kenapa kamu marah? Emang nggak boleh aku ngobrol sama mereka?]

Dari situ aku sadar bahwa dia bukan lagi Andreku. Kulihat jawaban pesannya masuk pukul 2 dini hari. 

Jujur, sejak dia mengabaikanku di bandara, di mana dia baru saja bilang kangen dan tiba-tiba seperti berpindah dimensi di mana hanya ada dia dan anak-anaknya, aku tidak diajak, otakku sudah memerintahkan tangan ini untuk tidak mengetikkan sepatah kata dan tidak menekan tombol telepon.

Aku hanya menunggu dan melihat, apakah dia masih ingat padaku, atau benar-benar amnesia. Aku sama sekali tidak membalas pesannya, dan dia pun sama sekali tidak bertanya kenapa. Sekali itu saja, lalu menghilang lagi.

[Mau pergi makan dulu, ya, diajak sama Mas Rian. Katanya kangen sama anak-anak. Kamu nggak usah ngambek segala. Mereka, kan, baru datang. Masak nggak boleh aku kangen sama anak-anakku?]

Lihat selengkapnya