Kamu terlihat berbaring di kasur layang yang berada di atap rumahmu. Kamu menatap langit begitu menikmati suasana malam-senja hari, ketika mentari tenggelam-pagi hari saat fajar menyingsing. Setiap suasana itu kamu merasa ada seseorang yang kamu dambakan di atas langit sana.
"Senyumanmu bagaikan bunga yang baru saja mekar, dan aku sebagai seorang lebah yang memuja setiap benang sari darimu setiap saat. Kamu dan aku mungkin berbeda, tetapi kamu dan aku akan melengkapi disetiap perbedaan itu. Mungkinkah itu akan terjadi pada kita, Rehema?"
Kamu menatap dalam cahaya kecil di langit, dan bergumam seakan kamu yakin bahwa kamu dan dia memang ditakdirkan untuk bersama. "Aku yakin bahwa Tuhan kita masing-masing akan menemukan sebuah jalan agar kita dapat terus bertemu. Bukankah ini sebuah pertanda untuk kita, Rehema?" tambahmu penuh keyakinan.
Kamu mulai memejamkan matamu-menarik napasmu dengan dalam dan kamu embuskan secara perlahan. Saat kamu pejamkan mata, ada sebuah cahaya mendekati kelopak matamu.
Kamu menggerakkan kedua bola matamu begitu saja, cahaya itu semakin dekat dan seakan memberi rasa hangat. Hal itu membuatmu bisa merasakan silaunya cahaya tersebut. Kemudian kamu langsung membuka mata, dan langsung melihat sebuah cahaya lampu flash yang berasal dari ponsel salah satu temanmu, Brian.
"Astaga ... Bri. Ada apa denganmu?" tanyamu menaikkan nada suara seraya terbangun dari tidurmu. Kamu pun duduk di sana dengan melipatkan kedua kakimu. Terlihat jelas dari raut wajahmu, kamu merasa sangat kesal karena dirinya sudah membuyarkan semua khayalan itu.
"Apa kamu menikmati malammu, Jo?" tanyanya mengabaikan pertanyaanmu.
"Besok kamu harus bangun pagi, Bri. Kita harus pergi ibadah sangat pagi," ucapmu membalas pertanyaan yang sudah dia abaikan.
Brian duduk di sebelahmu. "Aku lihat kamu berbicara dengan gadis itu."
"Lalu kenapa?" tanyamu menatap heran pada Brian.
"Jika Ayahmu sampai melihat, kamu bisa dapat masalah," cemasnya.
"Tidak ada permasalahan yang lebih serius saat seseorang berkenalan dengan orang yang berbeda. Apakah kamu pernah mendengar sebuah kasus yang seperti itu saat kini? Kurasa tidak. Karena saat ini dunia sudah berubah. Banyak beberapa insan yang sudah melakukannya," jelasmu dengan panjang lebar.
"Tetapi kamu berbeda, Jo."
"Tuhan kita sama-sama satu, Bri. Yang membedakannya adalah seorang manusia. Tuhan tidak pernah membedakan umatnya sendiri."
"Semoga Tuhan menyadarkanmu dan mengampunimu, Jo."
"Tuhan selalu memberkatiku, Bri. Percayalah!" Kamu menepuk pundak orang yang di sampingmu dengan pelan sambil tersenyum padanya. Sepertinya dia sangat mencemaskan perasaanmu terhadap gadis itu. Namun kamu menganggap semuanya seperti hal yang enteng.
"Mungkin saat ini beliau tak akan tahu, karena beliau kini tidak di sini. Tetapi bagaimanapun juga, kamu sering mendatangi beliau, Jo."
"Sejak kapan kamu menjadi seseorang yang menyebalkan, Bri?" ketusmu memudarkan senyuman.
"Sejak kemarin," jawabnya singkat.
Kamu pun memutar bola matamu, lalu membiarkan tubuhmu terjatuh dan merebahkannya di kasur sana. Menarik napasmu dalam-dalam seraya memejamkan mata kembali, seakan tak ingin melihat apa pun yang ada di sekitarmu.