Dia Rehema

Lani Nurohmah
Chapter #5

Bagian 1 - 4

Cuaca yang cukup cerah di daerah Banda Aceh ini. Langit berwarna biru, menggambarkan bahwa cuaca akan tetap cerah sampai esok hari. Awan putih terus bergerak seakan mengikuti langkahmu. Kamu berjalan di bawah teriknya matahari yang menyengat setiap pori-pori tubuhmu. Wajahmu mulai berkeringat, mengeluarkan hawa panas dari sinar itu.

Kamu melihat banyak mobil yang berlalu lalang di sepanjang jalan, sesekali menatap ke arah gedung-gedung tinggi yang tak jauh dari arah sana. Setiap hari kamu sering melihat orang-orang beraktifitas pagi di Masjid Raya Baiturrahman. Selain itu, ada keindahan masjid tersebut yang terdapat kolam pada tengah halamannya dengan dikelilingi aneka warna bunga. Membuat Masjid Raya Baiturrahman semakin cantik dipandang.

Kamu mengembuskan napas secara perlahan dan berkata, "Puji Tuhan. Keindahan ciptaanmu sungguh luar biasa. Ingin rasanya diri ini menginjakkan kaki untuk masuk ke sana. Namun, akankah itu terasa baik? Bolehkah aku berdiam di sana?"

Kamu menghelakan napas kembali, tak ada pilihan lain. Keraguan membuatmu semakin merasa bimbang. Padahal kamu bisa saja memasukinya. Tidak ada yang mengharamkan seorang manusia untuk masuk ke rumah Tuhan. Mungkin perasaanmu sangat ragu. Jika pun kamu berhasil berada di sana, pasti akan terasa bingung untuk melakukan sesuatu.

Kemudian kamu kembali berjalan melanjutkan perjalanan. Di depan sana, terlihat seorang pengemis di pinggir jalan, dan kamu pun langsung mengeluarkan beberapa lembar uang. Menyumbangkan sebagian hartamu padanya sambil menebarkan sebuah senyuman hangat. Setelah itu dia mengucap rasa syukur dan turut mendoakanmu.

"Subhanallah ... alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih, Tuan. Semoga Allah memberikan rejeki yang berlimpah untukmu."

"Amin," ucapmu.

Sejenak kamu terdiam mendengar kalimat rasa syukurnya. Kamu baru menyadari, bahwa dia bukanlah golongan orang-orangmu. Kamu tersenyum dan berkata, "Semoga Tuhan memberkatimu juga."

Lalu secara diam-diam, ada seseorang yang memperhatikanmu dari arah kejauhan. Terlihat orang itu tersenyum kecil menyadari bahwa kamu memberikan sebagian harta padanya. Dia berjalan menghampirimu dan langsung memberikan sebagian harta miliknya kepada pengemis tersebut. Perlakuan hal yang sama denganmu, bukan?

"As-salamu 'alaikum ...." Orang itu memberi salam seraya menyatukan kedua tangan, lalu berjongkok mendekati jarak di antara mereka.

"Wa'alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh."

"Belilah makanan-makanan yang layak kamu konsumsi. Jangan pernah memakan makanan sisa orang lagi. Jika perlu, datanglah ke tempatku yang tak jauh dari sini, setiap hari Jumat. Kami di rumah selalu mengadakan pengajian dan memberikan fakir miskin nasi kotak," ucapnya dengan nada yang begitu lemah dan lembut seraya menyelipkan uang ke tangan pengemis tersebut.

"Terima kasih, Nona. Terima Kasih. Semoga Allah melimpahkan semua rejekimu. Semoga engkau panjang umur, dan mendapatkan pahala yang sangat berlimpah, agar engkau dapat membantu kami yang tidak mampu lagi."

"Amin ... begitu pun denganmu. Semoga kamu mendapatkan sesuatu yang lebih layak dari pada ini. Semoga kamu diberi kesehatan selalu oleh Allah Subhanahu Wa Taalla. Sesungguhnya pekerjaan mengemis itu tidak baik." Orang itu tersenyum manis seraya tetap memegangi tangan pengemis wanita itu.

Kamu menatap kagum padanya. Ada pandangan rasa tak menyangka dalam matamu, bahwa masih ada seseorang yang benar-benar peduli terhadap seorang pengemis untuk mengajaknya berhenti mengemis lagi. Memang itu bukanlah sebuah pekerjaan baik. Jika masih mampu bekerja, maka bekerjalah. Sesungguhnya bekerja itu lebih baik daripada harus meminta-minta.

Kamu tebarkan sebuah senyuman padanya dan berkata, "Selain kecantikanmu yang jelas terlihat, kamu pun sangat cantik dalam bersikap, Rehema."

Rehema menengok ke arahmu, lalu dia ikut menebarkan senyuman padamu.

"Saya hendak pergi dulu. Semoga bermanfaat. As-salamu 'alaikum ...," pamit gadis itu kepada pengemis tersebut.

"Wa 'alaikumus-salam."

Rehema melepaskan tangannya. Kemudian dia berdiri dan berpamitan pula padamu. "Maaf. Aku harus pergi terlebih dulu."

"Eh, tunggu!" Kamu menahannya, tetapi gadis itu tetap berjalan menghiraukanmu. Terpaksa kamu pun berjalan tepat di belakang gadis itu dan mengikutinya secara terang-terangan.

Lihat selengkapnya