Kamu berdiri di bawah patung salib yang tertempel di dinding rumah seraya menyatukan kedua tanganmu. Kamu mulai menghelakan napasmu dengan dalam. Kemudian diikuti pejaman mata dengan penuh perasaan. Kamu mulai berdoa sepenuh hati. Entah apa yang kamu pinta dari-Nya, hanya kamu sendiri yang tahu akan hal itu.
Tak lama kemudian seseorang datang menghampirimu. Dia pun melakukan hal yang sama denganmu, yaitu berdoa di sampingmu. Berselang waktu, kamu pun selesai dengan kegiatan yang sedang lakukan.
"Dalam nama Bapa, Putra dan Roh kudus, Amin." Kamu memberi tanda di area dahi, dada, pundak kiri, pundak kanan, dan kembali ke dada.
Kamu menatap ke arah orang yang berada di sampingmu. Dia membuka matanya dan menoleh ke arahmu. Kamu tersenyum saat melihat sosok pahlawan kebanggaanmu, yaitu sang ayah. Lalu kamu pun menyapanya dengan hangat.
"Selamat pagi, Ayah."
"Selamat pagi kembali, Jo," balasnya tersenyum, "kamu akan berangkat bekerja?"
"Ya. Seperti hari biasanya," sahutmu.
"Kamu masih tetap rajin berdoa, Jo."
"Aku tidak bisa melewatkan doa, walau hanya sehari saja. Karena dengan berdoa, aku tetap diberi kesehatan dan kekuatan oleh Tuhan, juga di dekatkan dengan orang-orang yang aku sayangi. Seperti Ayah dan ibu yang mengunjungiku saat ini."
"Tuhan selalu memberkatimu, Jo." Ayahmu mengusap rambutmu dengan lembut. Kamu tersenyum senang mendapatkan sebuah balasan yang hangat darinya. "Mana Brian? Ayah tidak melihatnya."
"Dia sudah pergi berangkat kerja. Dia bagian pagi, dan aku bagian siang untuk berjaga di perpustakaan," sahutmu.
"Begitu, ya. Pantas saja ayah tidak melihatnya. Rupanya kalian berbeda jam kerja."
Kamu hanya tersenyum ke arahnya, berusaha untuk tidak memberitahukan masalah pertengkaran di antara kalian. Karena alasan itukah kamu berbohong padanya? Mungkin kamu tidak ingin memberikan sedikit beban masalah antara dua insan yang sedang mulai tumbuh dewasa. Seburuk-buruknya sebuah masalah, memang lebih baik diselesaikan oleh pihak yang bersangkutan. Lebih efisien tepatnya.
Lelaki paruh baya itu mendekatimu. Lalu dia merangkulmu dan mengajakmu untuk duduk bersama. Kamu terlihat sangat gugup ketika dirangkulnya. Kepalamu mulai menunduk, seakan sudah mengetahui ada sesuatu yang akan kamu alami. Berharap bukanlah hal yang buruk, selama ini kamu hidup jauh dari jangkauan orang tuamu.
Kamu masih duduk saling berhadapan dengannya. Ayahmu melihat raut wajahmu secara terang-terangan. "Ayah boleh bertanya sesuatu?"
Kamu terlihat tegang saat mendapati pertanyaan itu. "Apa yang ingin Ayah tanyakan padaku?"
"Lukisan di kamarmu. Siapa dia? Kenapa kamu memajangnya?"
Yang benar saja. Kini ayahmu tahu tentang lukisan yang kamu beli dari pelukis jalanan itu. Lalu, apa yang akan kamu jawab untuk pertanyaan itu? Apakah kamu sanggup untuk berbohong kepada orang tuamu sendiri?
"Lukisan seorang gadis," jawabmu merendahkan nada suaramu.
Akhirnya kamu memilih berkata jujur padanya. Yang harus kamu pikirkan saat ini adalah bagaimana kamu menghindari pertanyaan dan jawaban yang akan diberikan pada ayahmu agar tidak membuatnya curiga kepadamu. Sepertinya kamu mulai merasa lebih tenang menjawab pertanyaan dari ayahmu, karena dilihat dari jawabanmu, sepertinya kamu telah memikirkan sebuah alasan dari jauh hari sebelum hal ini terjadi.