Sejak pernikahan putri sulungku, semuanya seolah berubah. Mungkin hanya prasangka, dan aku paham bilamana seorang gadis dipersunting dan dinikahi, maka akan menjadi milik suaminya, bebas diorok ke mana saja, sudah bukan tanggungan ayahnya.
Aku merasa begitu, bukan soal sedih karena ditinggal putriku, ini soal lain, perasaan janggal yang tak mudah kuutarakan.
Sudah tiba masa tua, menunggu ajal ialah perilaku wajar bagi seorang yang sudah tua.
Duduk di tepi teras, secangkir kopi pahit, kursi goyang yang kokoh dari jati, kacamata kotak nan tebal, obat penenang pikiran yang sudah sehari penuh tidak kuminum karena tidak suka, dan danau luas yang indah, inilah wujudku sekarang, menjadi hamba penikmat masa tua yang sendiri.
Walau tampak sebagai dambaan banyak budak korporat, menikmati masa tua dengan kesendirian bukan sesuatu yang baik. Dengarlah, aku mencintai almarhumah istriku, dia salah satu wanita terbaik di mataku, hidup bersama selama 35 tahun, bagaimana mungkin perasaan secepat kilat dapat menghapus kenangan itu.
Itu yang kupikirkan pada sore hari, maksudku setiap sore sebelum maghrib.
Hingga putriku datang menemuiku, telah lama ia tinggali aku, dia pergi ke Jakarta, sementara aku didiamkan di pulau Dewata. Putriku bukan durhaka, ini perintahku, aku tak ingin meninggalkan Dewata, sebab satu-satunya yang bisa kukenang hanya di sini.
_____
"Ayah perlu seseorang yang menjaga Ayah!" Sudah lama tak mendengar nada cemas putri sulungku.
"Jangan cemaskan saya, biar saya mati seorang pun, saya sanggup, jangan libatkan dia, apalagi kau, urus suami kau di Jakarta." Sudah kesekian kalinya aku menolak, walau kali ini putriku sudah membawa seorang perawat di dalam mobil rentalnya.
Putriku merambat ke luar, bergegas menarik kenop pintu mobil, menggandeng seorang perawat dan berdiri di hapadanku yang sedang duduk di ruang tengah nan luas sambil menarik seruputan kopi pahit panas. Segera aku terpana menatap perawat itu, lupa menutup ekspresi yang absurd, aku bahkan memuncratkan kopi ke lantai saking terpesona dan kebingungan.