Selalu jadi kenangan tersendiri bila bermukim di tempat ini, danau di dekat rumah peristirahatanku. Berada seratus langkah dari rumah berlantai dua dari material kayu, rumah yang kubangun untuk rencana akhir, yakni menikmati sisa hidup.
Rasa-rasanya, rumah itu tidak begitu berfungsi selayak namanya, rumah peristirahatan. Tiap malam aku selalu dihantui rasa bersalah, apalagi semenjak perawat yang kini membawaku dengan kursi roda, dia bertingkah mirip dengannya, wajahnya apalagi, sudah kukatakan sejak awal, dia itu bagai pinang belah duanya Aristi.
"Bagaimana suasana hatimu? Udara di sekitaran danau lebih menyejukkan daripada di kota." Dia tertawa kecil, tangannya bersimpul di bawah bibir seolah menahan bibirnya untuk membuka lebar dan tertawa. Bertingkah anggun, hangat selalu sapaannya kepadaku, namun dia tetap tampil misterius.
Kutahu perawat ialah profesinya, dan bekerja secara profesional ialah kewajiban yang semestinya ia turuti, jadi aku tak punya hak lain selain mendapat perawatan serta penjagaan.
Ya, lagipula aku dengannya baru mengenal selama satu hari, apa yang kau harapkan bila berkawan dengan seseorang dalam masa satu hari? Dan dia pun seorang wanita, mungkin sulit untuk lebih dekat dalam waktu singkat.
Dari ujung puncak pohon-pohon, tersaksilah gumpalan awan abu pekat selayak erupsi gunung berapi, maka melihat hal itu, Afika bergegas membawaku ke rumah peristirahatan. Tepat sekali kami tiba, hujan mulai berjatuhan dengan diawali rintikan mungil gerimis.
"Seharusnya hari ini kau akan mengelilingi danau, tapi hujan. Tidak apa, aku akan buatkan kau kopi hitam pahit."
Jarak dapur dan ruang tengah tak begitu jauh, ia hanya perlu melewati etalase dari kayu, dan tibalah ia di dapur. Maka kami tetap dapat terhubung, saling berbicara sesekali. Dan kau tahu? Untuk kali pertamanya aku kembali merasa tenang.
"Kau tahu, aku punya seseorang yang begitu dekat sebelum menikah." Aku memainkan jari-jemari, sudah duduk rapi di kursi goyang. Afika tiba, menyimpan cangkir kopi hitam pahit di atas meja di samping kursi goyangku.
"Oh benarkah? Bagaimana rupa orang itu?" Afika menuju sudut ruangan di dekat pintu masuk, ia mengambil kain lap untuk kemudian menambalnya di sela-sela bawah pintu—rintikan hujan berhasil masuk ke dalam rumah dengan melewati sela-sela itu.
"Kau akan mudah meresap cerita ini bila bersedia untuk duduk dan minum kopi atau sejenisnya, bersamaku."
"Baiklah, kau yang memaksa, aku akan ke dapur sebentar."
_____
Afika tiba dengan secangkir teh hangat, cara dia memegang gelas, duduk dengan badan tegap selayak seorang pramugari, apalagi kali ini dia melepas kunciran rambutnya.
"Kau yakin akan membiarkan rambutmu terurai?" Aku mengangkat alis, ia tersenyum kecil, menampilkan lesung pipi yang membuatku de javu.