"Chandra? Sepertinya kau menjadi lebih akrab denganku, atau kau menganggap diriku ini masih sepantaran usiamu. Aku benci mengatakannya, kau terlalu hebat menggoda." Aku tertawa, sebelumnya suaraku lebih lantang, Afika tampak kikuk dan terkejut, namun setelahnya dia ikut tertawa.
"Kupikir kau lebih senang jika namamu dipanggil tanpa sebutan pak atau opa, atau kakek, atau apapun yang membuat kau lebih tua." Afika tersenyum, segera menyeruput tehnya yang berasap.
"Haaaah," aku mendesah, "Panggil saja aku dengan sebutan apa yang kau suka, dan jangan pernah membenci sebutan itu."
"Kau yang menantangku ya," dia berseru menggoda, "Baiklah, kau selalu duduk menghadap danau, tapi matamu terlihat tidak terlalu menyukai itu. Bagaimana jika Pesuruh Keindahan."
"Kau pikir begitu?" Aku nyengir, menarik cangkir kopiku dan meminumnya. "Jadi maksudmu, aku ini memandang danau karena terpaksa?"
Afika mengangkat kedua alis, merasa terintimidasi, "Ya, begitulah..."
Aku menatap lama matanya, lalu mengalihkan pandangan dan berkata, "Sebutan itu pernah kudapatkan dahulu."
"Benarkah?" Afika memasang wajah penasaran seolah dia baru saja akan mengetahui dalang di balik pembunuhan Mu—
"Ya, dahulu dia menyematkan sebutan itu padaku, saat kami berada di tepi danau, menghabiskan beberapa hari di villa tepi danau."
_____