"Aku sudah memesan kamar hotel untuk kita berdua, tempatnya berada di dekat alun-alun kota." Afika menarik koper merah di tengah lobi bandara.
"Apakah kau membaca isi pikiranku?" Mataku menyelip ke samping, berusaha menatapnya tanpa perlu menoleh.
"Maksudnya?" Afika memiringkan kepalanya, kedua alisnya mengerut seolah dia berkata dengan wajahnya, tuduhan apalagi yang kau sematkan padaku.
"Tidak ada. Kebetulan aku senang setiap kali menuju pelataran alun-alun kota ini saat libur kuliah." Aku mencoba mengalihkan topik.
"Ya, aku punya seseorang yang pernah berkuliah di sini, dia menceritakan kepadaku betapa indahnya alun-alun kota." Afika memandang bawah, namun tetap mahir membawa koper merah di sampingnya.
"Siapa?"
"Hmm," Afika menoleh, tersenyum, tapi aku paham senyum itu bukan artian dia sedang senang.
"Ah, maksudku..." Aku menjadi kikuk, menggaruk rambut dan tertawa. Mau kualihkan kembali situasi, tak ingin terlihat seperti seseorang yang benar-benar peduli.
"Dia orang yang kucintai." Afika berkata lugas, aku sampai berhenti tertawa. Dia tetap menatap bawah, seolah pernyataannya barusan punya makna tragis, "Ya, hanya sekedar teman lama saat dulu, namun sekarang dia sudah berkeluarga."
"Oh." Aku menaruh simpati kepadanya. Rupanya dia sama sepertiku, punya orang yang dia sayang, ingin selalu bersama dalam ikatan suci, mencoba merealisasikan impian kebersamaan, walau takdir sudah susah payah menjauhkan.
Pukul 11 siang. Terbang selama dua jam membuat orang tua ini kelaparan, jadi orang tua ini akan mencari makanan. Siapa tahu perawatnya juga akan senang jika diajak. Siapa juga yang akan menolak jika diberi makan.