Dia Teman Dekatku, Dulu

Fadel Ramadan
Chapter #7

Kota Sejarahnya Sebuah Kasih (3)

Aku berjalan sejauh mungkin meninggalkan restoran terpal itu. Sudah tak mau aku ke sana lagi, seumur hidup.

Tampang kota ini banyak yang berubah, terakhir kali kemari ialah 44 tahun yang lalu. Walau tampang kota tampak berbeda, namun suasana kota ini selalu istimewa, suasananya berbeda dari kebanyakan kota yang tersebar di sepanjang garis negara. Hanya di kota ini kau akan mudah menemukan perpustakaan kaki lima—sebutan yang kusematkan kepada orang-orang yang membuka perpustakaan kecil di pinggir jalan. Semua orang senang membaca, baik itu anak kecil, remaja, dewasa, bahkan yang sudah menginjak akhir masa produktif masih kuat-kuat membaca buku.

Di sinilah tempat yang disenanginya, ini surga dunia bagi Aristi. Sudah 44 tahun yang lalu cerita itu, masih kukenang hingga saat ini. Saat di mana telingaku disumpal cerita-cerita novel yang diringkas dengan gaya bahasa yang menarik oleh Aristi. Saat di mana beberapa helai rambutnya yang tak ikut terikat berterbangan karena angin, dia tetap khidmat membaca buku di pelataran alun-alun, kacamata khusus membaca yang selalu dia kantongi dikenakan saat itu. Tampil menawan setegak seorang pramugari, bergaun kuning, tas selempang kain yang beraroma cendana, entah mengapa dia selalu tampil seperti itu saat bertemuku, baik di ibukota maupun Yogyakarta.

_____

"Banyak orang yang sedang membaca buku, bersepeda, berjalan, sekedar duduk di kursi samping jalur sepeda, dan mengajak peliharaannya bersantai." Afika mengintai ke segala arah, namun tak waspada, dia tampak menikmati situasi daerah ini, kedua alisnya terangkat, matanya lebih terbuka seolah tampang wajahnya berkata inilah yang seharusnya kudapatkan.

"Kau senang berada di sini?" Aku menghirup udara panjang, melepasnya dengan santai.

"Iya."

"Kalau begitu, lakukanlah."

"Apa yang perlu kulakukan?"

"Lakukanlah seperti biasanya, saat kau melihat buku-buku indah. Kau pandai mencari buku bagus, 'kan?"

"Jadi maksud pertanyaanmu. Tolong belikan aku buku yang bagus?"

Aku menatapnya sambil merekah senyum tipis, "Ayo jalan, buku bagus akan lebih cepat habis." Aku melewatinya, dia mulai mengikutiku, mengejar langkahku, lalu berjalan di sebelah kanan—berusaha melindungiku dari jalan para pesepeda atau pengendara motor-mobil yang nakal.

Aku menarik bahunya ke sisi kiri dan mulai berjalan lebih cepat ke sisi kanan. Dia sedikit tercekat awalnya, merasa tak pantas dilindungi—dia mungkin berpikir seharusnya melindungi pasiennya—namun bagiku dia pantas mendapatkannya, terlebih saat dia bersamaku.

Jalur sepanjang seratus meter itu sedang kami lalui, walau hanya berjarak seratus meter—jika kau melewati seratus meter, kau akan tiba di jalan besar—kami menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya.

Lihat selengkapnya