"Sudah cukup lama tak berjumpa." Aku memeluk seorang pria yang lebih tua dariku, usianya sekitar 80-an. Dia balas memeluk, kami saling mengusap pundak selama tiga detik, lalu melepasnya dan berjabat tangan.
"Anda pasti telah meminum sebuah ramuan, Pak Ota, wajah anda tak berubah, seperti tetap berusia 50 tahun-an." Aku nyengir, menggoyangkan jabatan tangan kami.
"Kau bisa saja." Dia hanya nyengir. Kepalanya yang botak sedikit menarik perhatianku, karena silau matahari berhasil membuatnya seperti berlian bersinar. "Ada apa datang ke sini? Terkejut aku, tak bisa kusiapkan apa-apa untuk pelanggan setiaku dahulu."
"Ah, tidak. Saya datang untuk pesiar. Sekedar mencari angin di Yogyakarta."
"Tak mungkin datang pesiar kemari. Tempat tinggal kau kan ialah destinasi lokal dan internasional." Dia melambai tangan, tertawa. Entahlah, sebenarnya leluconnya tak lucu, jika bukan karena aku seorang yang menghormati, maka wajah laki-laki di depanku ini sudah bersinar ungu selayak kepalanya yang botak karena kupukul.
Kubalas dengan menyengir tipis, lalu berdeham, dia berhenti tertawa, lalu mengajakku untuk duduk di sebuah meja makan dekat kasir. "Barang bawaanmu banyak, tak tahu aku kalau kau senang berbelanja. Padahal aku kenal kau sebagai orang yang pelit—secara artian, orang yang hemat."
"Ya, ini hanya kebetulan. Lagipula tak masalah jika saya habiskan beberapa harta saya untuk benda-benda ini."
"Lihat ini!" Pak Ota meraih tas kain berwarna putih yang kembung oleh buku-buku. "Kau beli sebanyak ini? Dan ini juga, sebuah kacamata. Sepertinya kau datang kemari untuk nostalgia."
Aku bersitatap dengan Afika. Dia sejak tadi hanya diam, tidak pernah bicara. Dan saat Pak Ota menyentuh tas kain putih berisi buku-buku dan kacamata milik Afika, sebenarnya aku geram, mengapa dia seolah mengabaikannya? Apakah dia tak bisa melihat di depannya ada seseorang? Entahlah, mungkin dia sudah rabun karena tua dan lupa memakai kacamata.
Aku memegang tangan Pak Ota, dia sedari tadi asik mengecek satu-persatu buku yang kami beli. Pak Ota mengangkat kepala, memandangku dengan wajah yang bingung, "Ada apa, Chandra?"
"Saya bukan menganggap anda tidak sopan. Hanya saja, itu barang teman seperjalanan saya, saya takut dia tidak senang barang-barangnya diganggu."
"Kau datang dengan seseorang? Apakah dengan anakmu?"
Pak Ota sudah tahu kabar meninggalnya istriku sejak lama. Dia berpikir bila putri sulungku sedang menemaniku jalan-jalan di sini.
"Tidak, dia adalah pembantuku."
"Kau membawa pembantu? Bukan anakmu?"