Dia Teman Dekatku, Dulu

Fadel Ramadan
Chapter #10

Satu Malam, Seribu Kata (1)

"Kapan teman seperjalanan kau tiba?"

"Saya semakin bingung dengan anda."

"Aku tidak bercanda, sejak 30 menit ngobrol. Orang yang kau maksud belum juga tiba. Mungkinkah kau perlu mencarinya?"

"Kalau anda rasa begitu, saya akan pergi." Aku bangkit dari kursi, berjalan keluar menuju pintu kayu putih yang payah, lalu memberi salam perpisahan kepada Pak Ota, dia mengangguk dan tersenyum.

Belum juga aku meninggalkan pekarangan toko kopi antiknya, dia sudah saja membicarakan aku.

"Dia mulai sakit-sakitan sepertinya, padahal umurnya jauh lebih muda dariku. Bisa-bisanya dia mengkhayal kalau teman seperjalanannya ikut mengobrol selama 30 menit..." Pak Ota berbicara kepada karyawannya.

Karyawannya yang ramah tamah di depanku menjawab, "Apa temannya Bos lupa minum obat?" Mereka berdua tertawa.

Walaupun dia ikut menertawakan Chandra, jauh di dalam lubuk hati Pak Ota, yang tidak pernah diketahui oleh Chandra adalah, dia memedulikan Chandra.

_____

Aku dan Afika duduk di pelataran alun-alun. Aku duduk di sebelah kanannya, sementara Afika di sebelah kiri. Mulai mengobrol apa pun yang bisa diperbincangkan.

"Umurmu berapa?"

"22 tahun."

"Kau sepantaran dengan teman dekatku dulu."

"Berarti seharusnya dia berumur 66 tahun sekarang?"

"Seharusnya begitu... Tapi kurasa tidak."

"Maaf, aku tak mau membuatmu ingat."

"Tidak perlu minta maaf. Kau tidak ikut terlibat."

"Dia pasti senang sekali kalau tahu kau sangat menyayanginya."

"Aku harap begitu... Aku benar-benar berharap begitu..." Mataku sembab, intonasiku bergetar.

"Jangan menangis... Dia pasti akan murung kalau tahu kau menangisinya. Padahal dia ingin kau selalu bahagia saat kau mencoba mengingatnya."

Entah mengapa kali ini aku tidak keras kepala. Sudah jadi kebiasaan bilamana seseorang yang menceramahiku akan kembali mendengar ceramah dariku. Sejak kepergian Aristi 44 tahun silam, aku menjadi keras kepala, tidak ingin diatur dan terkadang egois, bahkan kepada putriku sendiri, aku tak mau ambil pusing, langsung menolak banyak bantuan dari putriku karena aku keras kepala dan berpikir bisa hidup sendirian.

Lihat selengkapnya