Chandra, seharusnya kau paham. Kau sudah kehilangan masa lalumu. Lalu sekarang, kau gunakan penyakit kau untuk menghidupi masa lalumu kembali.
Ironis.
_____
"Dokter berpesan, kau harus minum obat." Afika merogoh tas pinggangnya, terkejut aku sebab obat itu berada di tas pinggang kepunyaan perawatku.
"Aku tidak mau... Lagi pula obat itu tidak enak." Aku menggeleng marah, melipat tangan, badanku yang semulanya terbaring, segera duduk di ujung ranjang, membelakangi Afika.
"Kau harus minum obat atau kau akan terus menderita!"
Aku tersentak, pertama kalinya Afika marah padaku. Ingatlah sekali lagi, aku ini orang yang keras kepala dan egois, kecuali jika berhadapan dengan Mamak dan Aristi. Sementara Afika? Dia berbeda, dia orang yang merubah konsepsi kemarahanku menjadi sesuatu yang terbuka, berhasil menghapus ego-ku untuk menjadi yang selalu benar dan harus dituruti.
Maka karena itu, aku tidak marah, atau mengungkap satu pun kata saat Afika menasihatiku di pelataran alun-alun petang tadi.
Dialah yang memelopori jiwaku yang baru, orang yang lebih damai dan sabar.
Maka saat Afika mendekatiku untuk memberi obat, setelah ia menasihatiku. Aku hanya diam. Membiarkan dia menjajahku, aku memaksa diri untuk menjadi pribadi yang baru itu.
Mulai aku terima obat itu, kutatap obat yang pertama kali diberi oleh dokter jiwaku empat hari yang lalu. Aku telah sengaja tidak minum obat selama satu hari. Dokter jiwaku berkata jika aku akan merasakan banyak gejala jika tak minum obat.
Pertama kalinya lagi aku akan minum obat. Membayangkan rasa obat itu yang pahit. Tidak suka aku dengan obat ini. Tapi tetap kupaksa untuk meminumnya karena dimotivasi oleh Afika.
Afika membawa segelas air minum yang dia tuangi lewat botol minum yang dia simpan dalam tas pinggangnya.