Dia Teman Dekatku, Dulu

Fadel Ramadan
Chapter #13

Akhir

"Aristi, kaukah itu?" Aku berteriak, melihat sosok yang tak asing; mengenakan gaun kuning, kacamata khusus membaca, rambut dikuncir, tas simpang kain, dan duduk dengan tegap di atas dahan pohon tepi danau.

Kudekati Aristi, mencoba meminta kejelasan—padahal semua sudah jelas.

Gerombolan kupu-kupu kuning bercahaya gemerlap sudah menangkup di atas punggung Aristi. Namun Aristi seakan dibuat menjadi tuna runggu dan tuna netra, seolah tak bisa melihat atau pun mendengar kepakan sayap kupu-kupu. Entah pula jika dia bisa merasakan sentuhan kaki kupu-kupu di punggungnya.

"Aristi... Kaukah itu?" Aku sudah tiba saja di belakangnya, walau berteriak sekencang atau berlari dengan hentakan kaki yang bising, Aristi tak sekali pun menoleh, tak sekali pun waspada, dia bagai telah tahu kedatanganku kemari.

Lalu mulai dia berbalik badan dengan pelan. Hatiku berguncang saat tahu jika di hadapanku ini adalah jasadnya saja.

Wajah Aristi telah rata, tak punya mata, hidung, mulut. Itu mengingatkanku pada tragedi itu.

Tragedi yang mengantarku menjadi sosok yang keras kepala dan egois. Tragedi yang tak pernah kulupakan karena telah membangkang pada ibu, dan membawa kabur anak orang.

_____

"Mengapa harus dengan laki-laki ini!" Ayahnya Aristi marah saat diperkenalkan denganku.

Kedatanganku ke rumah Aristi segera menjadi obor yang baru terbakar—panas. Sebab kasta sosialku dengan keluarga Aristi jauh dari kata setara.

Bayangkan, rumah dengan desain bak kerajaan, setinggi tiga lantai, berlantai marmer mahal di setiap sudutnya, punya taman pribadi, jangan tanyakan apakah ada kolam renang di sini... Bahkan kolam ikan pun ada.

Lengkap sekali fasilitasnya, aku sampai takut kalau Aristi menjadi suamiku, karena aku hanya anak rantau dari Nusa Air, kampung terpelosok, orangtuaku berdarah Lombok tulen. Apakah dia mau dengan laki-laki sepertiku? Bukan, seharusnya bukan itu pertanyaannya. Seharusnya pertanyaannya, apakah aku pantas hidup dengan ratu, sementara aku hanya tukang pandai besi dengan ongkos minim.

Aristi bisa menjadi suami orang kaya jika dia mau, ayahnya punya kolega, koleganya tentu punya anak laki-laki yang tampan dan matang. Seharusnya dia bisa menjadi istri orang kaya jika dia mau.

Seharusnya Aristi menjadi ibu yang punya anak-anak yang lucu. Bermain setiap hari di pekarang rumahnya yang luas, menyuapi anak-anaknya dengan biskuit yang sudah dilembutkan, memberi susu kelas atas untuk anak-anaknya, memakaikan baju indah dan mahal untuk anak-anaknya.

Semua itu dapat terjadi, kalau aku tak egois. Memaksamu untuk menemui ibuku di Nusa Air. Kita sama-sama punya janji untuk saling mengenalkan satu-sama lain kepada keluarga masing-masing. Sebenarnya, aku sudah tahu langkah yang harus kuterjang setelah mendengar jawaban ayahmu; pergi sejauh mungkin dari kau.

Naas, kau mengiyakan keinginanku yang naif ini, kubawa kau ke kampung halamanku. Kita menyewa dua kursi di sebuah bus, transit melalui Yogyakarta, baru kemudian menuju Dewata. Kita tak sempat berjumpa Pak Ota, itu juga karena keinginanku, tak ingin membuat Pak Ota menantikan kabar perestuan hubungan kita, karena aku tahu akhir cerita akan seperti apa—meninggalkanmu karena ayahmu.

Saat bus kita melaju di sebuah tikungan yang terkenal senang memakan korban, di ujung pulau Jawa, berdekatan dengan dermaga yang menghubungkan Jawa dan Dewata, bus kita kecelakaan.

Aku selamat dengan seperempat penumpang, tapi kau wafat bersama sebagian besar penumpang. Saat kutemukan kau di bawah tumpukan rangka bus, kau sudah hangus, wajahmu hilang meleleh, aroma cendanamu berubah menjadi darah dan gosong.

Aku terluka. Sungguh dalam.

Mamak yang mengetahui kabarku saat itu begitu terkejut, penyakit jantungnya koleps. Dia juga turut menyusul kau ke surga.

Aku semakin terluka. Sungguh sedalam jurang yang amat dalam.

Ayah kau mengetahui kabar itu, lalu dia mencoba memasukkanku ke penjara, namun hakim saat itu masih suci, tak menerima uang gelap. Aku tidak jadi masuk penjara dengan dalih pembunuhan.

Aku merasa telah berakhir. Kabar meninggalmu tersebar. Berita penggugatanku sempat naik daun, sebab itu Pak Ota tahu kabar wafatnya kau, dan kabar seberapa beruntungnya aku karena tidak jadi masuk penjara.

Aku kembali ke ibukota, menyelesaikan studiku selama empat tahun, satu tahun waktuku kuliah sempat tercekat karena kasusku. Pada akhirnya aku kembali ke Dewata selepas wisuda. Hidup seorang dalam rumah ibu yang indah di kampung, rumah yang dibangun persis di tepi danau, menjadi rumah peristirahatanku, dan rumah impian Aristi.

_____

"Apa yang sedang kulihat sekarang?" Aku menggumam, memandang ke depan, namun tak fokus ke mana aku membidik. Saat ini pikiranku tercampur padu antara fantasi dan realita. Kupukul pipiku untuk sadar, rupanya ini bukan fantasi.

"Aristi, maafkan aku, aku tak pernah bermaksud membuatmu begini..." Sungguh aku berlutut dan memeluk lutut Aristi, maksudku jasadnya.

Saat kepalaku mengangkat, memandang wajah jasad Aristi, dia sedang mengangguk, lantas tangannya mulai membelah rambutku dengan lembut, dia mengusap rambutku yang separoh beruban, seperti sedang menenangkanku.

Kau tahu? Aku tidak bisa tenang. Sentuhan seseorang di hadapanku ini berhasil menarik air mataku lebih deras. Menangis lebih kencang. Nadanya lebih mendominasi daripada suara jangkrik di rerumputan tepi danau. Sungguh ini hanya satu-satunya cara yang bisa kulakukan pada kau, Aristi, hanya ini saja.

Lihat selengkapnya