Pagi ditemani secangkir kopi bersama istri. Sungguh salah satu pagi yang paling menyenangkan sepanjang hidup. Rumah kediaman mertuaku ini memang asri dan segar. Kicauan burung mengiringi senda gurau mesra kami.
"Diminum kopinya, Mas, nanti kalau sudah dingin jadi kurang enak," tawarnya.
"Sudah dicoba belum? Kuatir nanti kurang pas. Coba Dek Naila minum dulu, ya ...," godaku agar dia meminumnya lebih dulu.
"Kan ini buat Mas, masa aku yang minum duluan. InsyaAllah enak kok mas, sebelumnya kan sudah sering bikin buat Bapak,"
"Coba saja dulu, siapa tau yang ini beda... kalau belum dibuktikan ya belum percaya," tambahku meyakinkan.
"Ya sudah, ku coba, ya ... Bismillah..." Akhirnya dia mengalah. Sedikit mecucu bibirnya tadi karena merasa diragukan. Tapi samar kulihat senyumnya sebelum menyesap kopi buatannya sendiri itu.
Slurrp..
Diam-diam, kuperhatikan dia minum. Tampak hati-hati sebab masih panas. Tidak lupa, kuingat bagian mana yang jadi tempatnya minum. Wajahku menoleh ke arah lain, tapi pandanganku mengawasinya.
Namun aneh, dia minum di sisi dekat telinga cangkirnya. Aih, rupanya dia sudah membaca rencanaku. Gadisku ini cukup cerdik rupanya.
"Hmm... enak kok Mas, buatku sih terasa pas," serunya senang. Satu alisnya terangkat, senyum disunggingkannya. Jail.
"Betulkah? Nah, kalau begitu. Sekarang Mas yang minum, ya.."
Kuraih cangkir darinya, menghirup kepulan uap beraroma khas itu, lalu menyesapnya perlahan, sembari menikmati rasa pahit manis yang sempurna menyatu.
Dia memerhatikanku, tampak menunggu respon pujian untuknya. Juga mungkin menunggu mengerjaiku bahwa aku telah minum bukan di bekas bibirnya tadi. Dalam rencananya, aku akan gagal merayunya meniru seperti yang Nabi lakukan pada Aisyah.