Berdiri di sana, seorang wanita basah kuyup, tanpa busana. Kututup pintu.
"Dek ..."
"Dek ..." Aku sedikit panik.
Naila tergopoh-gopoh menghampiri. Kini kerudung panjang telah tersampir di kepalanya. Rupanya tadi dia beranjak ke kamar guna mengambil kerudung ini, khawatir tamunya laki-laki. Padahal ternyata yang datang perempuan. Perempuan telanjang. Orang gila.
Setelah kujelaskan siapa dan seperti apa tamu yang datang, Naila tampak ragu, entah takut atau merasa aneh. Ku minta ia melakukan beberapa hal. Lalu ia mengangguk dan tersenyum. Wanitaku yang pemberani.
***
Aku mengungsi ke dapur. Sekalian menghangatkan sayur dan menakar nasi di piring. Sementara Naila menggiring wanita tadi ke kamar mandi, setelah menyelimutinya dengan jarik dan handuk tebal.
Cukup lama aku menunggu di dapur dengan telinga siaga kalau-kalau terjadi apa-apa dengan Naila. Ku seduh teh hangat agak panas, lalu menutupnya. Tak lama, Naila muncul dengan menggandeng wanita yang kini telah mengenakan pakaian. Pakaian Naila, tentu saja.
Aku tersenyum melihat penampilan wanita itu. Tersenyum karena busana yang dipakainya adalah busana yang baru dibeli naila bulan lalu saat kami ke pasar bersama. Busana sederhana yang diam-diam diliriknya, dan baru dipakai sekali saja. Dikerudunginya tamu itu dengan rapi sehingga tampak jauh lebih manusiawi daripada saat ia datang tadi. Siapa sangka, wanita berjilbab dan berbusana apik ini, sebenarnya gila.
Keduanya duduk di kursi dapur. Aku sedikit menyingkir ke pintu, membebaskan juga tetap mengawasi.
Naila menyuguhkan teh hangat yang telah tersedia di meja. Membuka tutupnya, lalu menyodorkannya pada wanita itu.