Dia yang Tanpa Nama

Yayuk Yuke Neza
Chapter #1

Sore Kala Itu

Satu regu garnisun turun dari mobil bak terbuka yang tampak gagah di mata penduduk Desa Dawan. Sebagian besar yang melihat kedatangan garnisun buru-buru menutup pintu rumah, tetapi mencuri-curi kesempatan mengintip dari celah dinding-dinding kayu rumah mereka. 

Rusmini adalah salah satu penduduk yang melakukan hal serupa. Dia berdiri di balik daun jendela yang kayunya sudah mulai keropos dimakan usia. Sang ibu, Martinah menarik-narik rok panjang Rusmini. Martinah menyuruh Rusmini menjauhi jendela. Namun, Rusmini keras kepala, enggan menuruti permintaan ibunya. 

Martinah bersungut-sungut melihat anak gadisnya berperilaku bodoh dan sering kali ngeyel bila diberi tahu. Martinah menjauh dari Rusmini. Dia mengambil gagang sapu ijuk yang sudah tidak digunakan. Martinah menghampiri Rusmini lagi, anak gadisnya tidak sadar sang ibu tengah marah. Martinah sudah pernah mengingatkan berkali-kali agar Rusmini tidak usah penasaran dengan apa pun yang dilakukan oleh para garnisun di wilayah mereka. Entah ketika mereka berkeliling di desa atau di pasar, di manapun. 

Martinah mengayunkan gagang sapu ke lengan Rusmini. Rusmini terkejut, tersentak seraya menoleh tajam ke arah Martinah. Martinah menunjuk kamar anaknya. Tidak ada sanggahan yang keluar dari bibir Rusmini. 

Rusmini ingin membantah ibunya, tetapi dia tidak mau melakukannya. Sejak kecil, Rusmini diajarkan untuk menjaga ucapan. Rusmini terpatok oleh pepatah, membantah orang tua hukumnya dosa. Bapaknya adalah sok yang selalu menekankan nilai-nilai kepribadian yang baik yang harus dimiliki anak perempuan.

Bapak Tejo, si guru ngaji. Begitulah orang-orang menyebut bapaknya Rusmini. Tejo adalah guru ngaji yang terkenal sabar dan senang pada anak-anak kecil. Anak-anak yang diajari mengaji oleh Tejo, bahkan sering main ke rumah. Rumah Martinah dan Tejo tidak pernah sepi dari suara anak-anak kecil. Namun, itu dulu. Dulu ketika Tejo masih hidup, masih bisa mengajar, dan masih menjadi sosok disegani di Desa Dawan. 

Sepeninggal Tejo, rumah Martinah jadi sunyi bak kuburan di tepi desa, persis di dekat hutan. 

Rusmini tidak mau mengajar ngaji, tidak mau menjadi guru ngaji seperti bapaknya dulu. Padahal, Rusmini pintar mengaji. Rusmini lebih senang berdagang karena dia pikir menjadi guru ngaji itu melelahkan. Lebih-lebih, Rusmini tidak terlalu suka anak kecil. Rusmini tentu bersedih karena kehilangan Tejo. Namun, di sisi lain, Rusmini bersyukur rumahnya terasa seperti rumah, miliknya dan ibunya. Bukan menjadi tempat bermain anak-anak orang lain. Anak-anak itu sering kali membuat Rusmini tidak bisa beristirahat karena berisik. 

Rusmini pernah mengeluh pada Tejo. Rusmini meminta anak-anak itu tidak usah main ke rumah. Mereka cukup mengaji di surau saja, tidak perlu datang dan main ke rumah. Akan tetapi, Tejo justru menganggap anak-anak itu membawa keceriaan yang selalu membuat rumah terasa hidup. Hidup dan berisik, batin Rusmini. Namun, Rusmini tidak membantah. Dia tidak seberani itu. 

Ingatan tentang Tejo membuat perasaan Rusmini tidak nyaman. Rasa-rasanya, keadaan yang dirasakannya tidak lagi aman seperti dulu. Orang-orang bersegaram yang disebut garnisun itu terus berkeliaran di mana-mana. Sudah sekitar lima bulan terakhir, kemunculan mereka semakin sering. 

Desas-desus di Desa Dawan terus bergulir. Ada yang berkata, para garnisun tengah mencari si Kasno, mencari si Yoto, mencari si Kunto. Namun, berita-berita serampangan itu tidak benar. Nama-nama orang yang disebut dan berasal dari Desa Dawan, mereka masih hidup dan melakukan pekerjaan sehari-hari mereka. Tidak ada yang ditangkap, tidak ada pula yang disergap. Rusmini tidak mau memikirkan keberadaan para garnisun itu, tetapi rasa penasaran seperti membunuhnya perlahan-lahan.

Dari dalam kamar, Rusmini mendengar langkah kaki Martinah menuju dapur. Tak lama kemudian ada suara panci diangkat dari paku gantungan di rumah mereka yang bagian belakangnya hanya dilapisi dengan gedeg anyaman bambu. 

Lihat selengkapnya