Keesokan pagi, Desa Dawan gempar. Warga bingung mencari mayat Angoro yang hilang. Martinah mendengar kabar kematian Anggoro ketika pulang dari salat Subuh di surau. Dia lari pulang sambil memegangi bawahan mukenanya. Martinah memberi tahu Rusmini yang tengah mempersiapkan dagangan keripik pisangnya.
Rusmini pura-pura terkejut ketika mendengar kabar yang dibawa ibunya. Namun, dia tidak menangis. Rusmini sudah tahu, tentu saja. Rusmini menyaksikan kematian Anggoro di depan matanya. Bayangan tubuh Anggoro terkapar berkelebat dalam ingatan Rusmini. Sore itu, Rusmini langsung pulang.
Dada Rusmini sesak sekali. Seolah-olah ada batu-batu besar yang berjejalan di dalam dirinya. Rusmini menahan air mata sebisanya. Rusmini tidak bisa menangis sore sebelumnya, tidak boleh. Atau kebohongannya akan terbongkar. Atau orang-orang akan menyalahkan Rusmini dengan alasan yang dibuat-buat. Tidak bisa. Rusmini bertekad untuk tidak menjadi saksi dalam kematian Anggoro.
Ketika sampai di rumah tanpa membawa serupiah pun uang, Rusmini mengaku pada Martinah bahwa dia tidak sampai ke warung tetangga. Di jalan Rusmini melihat para garnisun. Rusmini bercerita dia sempat menunggu para garnisun itu pergi, tetapi rupanya mereka tidak juga ke mana-mana. Rusmini memutuskan pulang lagi. Tak lupa, Rusmini meminta maaf pada Martinah karena tidak membawa uang dari warung. Mereka butuh uang itu, berapa pun jumlahnya.
Kemiskinan yang mencekik Rusmini dan Martinah hampir dialami oleh sebagian penduduk Desa Dawan. Hanya para perangkat desa dan pegawai negeri yang merasakan hidup aman, tanpa memikirkan besok makan apa. Meskipun, tidak berlebihan, para perangkat dan pegawai negeri punya gaji tetap yang bisa diirit-irit. Setidaknya, punya topangan hidup dan pengharapan.
Berbeda dengan petani, buruh, dan pedagang kecil seperti Rusmini. Tidak berjualan, sama artinya terancam tidak makan. Tidak ada penghasilan harian, maka puasa adalah jalan satu-satunya untuk bertahan sekaligus berhemat. Bahan pangan semakin mahal dan mahal, sementara penghasilan masyarakat miskin tetap atau justru berkurang.
Rusmini diam terpaku. Dia tidak tahu harus berkata apa, atau memutuskan melakukan apa saat itu. Rusmini terpukul begitu keras. Harapannya untuk dihidupi dan dilindungi oleh laki-laki yang dicintainya, pupus sudah.
Anggoro bukan hanya separuh hati Rusmini. Anggoro adalah harapan besar yang nantinya dapat membantu Rusmini dan Martinah untuk bertahan hidup. Rusmini tidak hendak berhenti berjualan setelah menikah, tetapi setidaknya ada orang lain yang memikirkan urusan perut di rumah kecil itu. Rencananya, setelah menikah, Anggoro akan tinggal bersama Rusmini. Anggoro punya dua adik laki-laki. Adik pertama Anggoro sudah lulus SMP dan bekerja sebagai penjaga warung kopi malam di kecamatan. Istilahnya, adik Anggoro merantau, meski tidak begitu jauh. Bagi penduduk Desa terpinggir seperti Desa Dawan, pekerjaan yang didapat adik pertama Anggoro sudah cukup bisa dibanggakan. Dibanggakan karena mendapat yang gaji tetap per bulannya. Berbeda dengan Anggoro yang hanya buruh serabutan, kadang mencangkul, kadang jadi juli angkut, kadang jadi tukang angon ketika menjelang lebaran Iduladha.
Sementara, adik kedua Anggoro masih sekolah di SMP negeri satu-satunya di dekat tempat tinggal mereka. SMP yang beberapa bangunan kelasnya hampir rubuh sehingga harus disangga dengan batang bambu.