Di rumah duka keluarga Anggoro. Sang bapak duduk di dipan bekas tempat tidur mendiang selama masih hidup. Dipan beralas anyaman bambu itu diletakkan di depan rumah. Konon, dipan itu sebagai penanda agar arwah yang belum genap empat puluh hari dapat mengenali letak rumahnya dari keberadaan dipan itu.
Bapak Anggoro biasa dipanggil Kero. Kero adalah ejekan sejak kecil. Kero berarti juling dalam bahasa Jawa. Panggilan itu didapat karena Kero bodoh sejak kecil. Kero bertubuh besar dan tinggi, tetapi tidak pandai berhitung. Tidak juga pandai membaca. Dia tidak tamat sekolah dasar karena putus asa selalu menjadi bahan perundungan teman-temannya.
Ketika mengeja, Kero sering salah-salah. Dia juga kesulitan menghafal huruf-huruf. Diajari berhitung pun sama saja. Kero lambat berpikir, teman-teman jadi geram dan menganggap dia tidak awas, tidak jeli melihat, matanya rusak atau juling. Padahal, aslinya Kero tidak juling. Matanya baik-baik saja. Dia hanya bodoh dan lambat berpikir. Namun, saat kecil, Kero tidak pernah berani melawan temannya. Andaikan dia punya keberanian, sudah pasti lawannya akan kalah. Namun, lambat berpikir membuat Kero malah mengucilkan diri dan mundur perlahan. Dia memutuskan tidak mau lanjut sekolah. Kero hanya sampai bangku kelas tiga saja. Dulu, ibu guru sampai datang ke rumah dan membujuk Kero, tetapi dia tetap tidak mau. Orang tua Kero justru senang karena Kero tidak mau sekolah, jadi tidak buang-buang uang untuk biaya sekolah.
Berbekal otot dan kecakapannya membantu di sawah, Kero menjadi petani yang cukup sukses. Bisa makan kenyang dan punya sawah harapan milik sendiri adalah kategori sukses untuk masyarakat Desa Dawan. Sawah itu dulu milik nenek, diturunkan ke orang tua, lalu jatuh pada Kero dan keluarganya. Memang bukan sawah yang luas, tetapi cukup menyediakan pangan untuk setahun demi setahun sampai anak-anak Kero beranjak besar. Anak laki-lakinya hanya tinggal dua sebab Anggoro mati tak terduga.
Dari dalam rumah, muncullah Siti. Ibu Anggoro itu tidak senang melihat sang suami selalu duduk termenung di atas dipan anak sulungnya. Siti bukan tidak berduka, tetapi mendoakan sang anak baginya lebih penting. Mau ditangisi sampai mampus pun Anggoro tidak akan kembali, apalagi sampai hidup lagi. Tidak akan. Siti memanggil-manggil Kero. Dia biasa menyebut suaminya, pak.
Kero menoleh ke arah Siti. Dia tersenyum, masih sering terpesona oleh rambut keriting Siti yang mengembang ketika tidak diikat dengan rapi. Kero tahu Siti menyuruhnya masuk rumah karena langit mulai kemerahan, pertanda sebentar lagi waktu Magrib tiba. Ketika Kero berjalan menghampiri, Siti terus mengomel tentang kebiasaan baru Kero.
Siti mengulang-ulang bahwa merenungi kematian anak akan membawa duka dan nestapa. Nanti lupa pada yang Mahakuasa. Hidup hanyalah sementara, semua yang dimiliki oleh manusia adalah titipan-Nya.