Dia yang Tanpa Nama

Yayuk Yuke Neza
Chapter #8

Keberuntungan

Siti berjalan melewati jalan setapak belakang rumah Martinah untuk menuju sawah miliknya. Dia membawakan air untuk Kero yang sudah sejak pagi buta pergi menengok tanaman setelah mereka yang sebentar lagi siap panen. Siti tidak suka setiap kali melintasi belakang rumah mantan calon besannya itu. Ada perasaan tidak enak bersembunyi dalam dada Siti. Seolah-olah dia merasa bersalah atas kematian Anggoro. Namun, sejenak kemudian Siti berkata para diri sendiri bahwa yang terjadi di luar kendalinya. Siapa pula ibu yang menginginkan kematian putranya sendiri. Sayang sekali, penghiburan itu tidak berdampak apa-apa dalam hatinya yang panas dan penuh luka. 

Rumah Martinah sudah dekat. Bagian belakangnya bolong-bolong, gedeg penutup dapur rumah Martinah perlu diganti. Begitulah pikiran Siti setiap kali melintas. Dia berjalan semakin dekat, seraya berdoa tanpa sadar agar tidak ada siapa pun keluar atau melongok dari pintu dapur yang terbuka. Siti tidak ingin bertatap muka dengan Martinah. Perasaan aneh bergumul dalam hatinya. Siti mengalihkan pandangan dari dapur Martinah. Dia menatap lurus ke depan. Siti yang gusar menyadari sikapnya yang bodoh tanpa alasan. Dia buru-buru agar secepatnya melewati rumah Martinah. 

Langkah Siti yang semakin cepat-cepat diamati oleh Martinah dari dalam dapur rumahnya. Martinah menggeleng-geleng melihat gerak-gerik Siti yang idak wajar. Pagi itu, Martinah tidak pergi berkeliling jualan. Gantian Rusmini yang berkeliling. Keduanya tak lagi pergi ke pasar seperti dulu karena jengah dengan tatapan orang-orang yang tampak menghakimi dan tidak menghendaki keberadaan mereka. Martinah akhirnya menyuruh Rusmini jualan berkeliling di desa sebelah. Bila cuaca sedang baik, Rusmini pergi berjualan ke pasar dekat kecamatan. Perjuangan ibu dan anak itu semakin berat setiap harinya. Namun, keduanya memendam dalam-dalam semua keluhan dan kesakitan yang mendekap mereka. Martinah hanya bisa mewariskan ilmu sabar dan ikhlas. Rusmini mengikuti perintah ibunya karena tidak mau menambah ribut masalah dengan pertengkaran-pertengkaran, meski dalam hati Rusmini sejujurnya dia tidak pernah ikhlas kehilangan Anggoro. 

Martinah kembali dari kalut pikirannya, lantas mengamati keanehan mantan calon besannya. Dia melongok sedikit, kepalanya menyembul dari balik kusen pintu dapur. Dia menengok ke arah Siti pergi. Sementara Siti tidak sadar tengah diperhatikan orang lain. 

Siti terus berjalan lurus tanpa niat menoleh ke belakang, meski dia merasa ada yang mengawasinya. Dia melangkah makin cepat-cepat. Sampainya di ujung sebelum belokan yang jalannya semakin sempit, tampak seorang wanita seumuran Siti tengah duduk di dekat pematang. Wanita itu mendongak ketika mendengsr suara kaki Siti. Keduanya saling pandang, lalu tersenyum satu sama lain. 

Siti menyapa lebih dulu sembari memuji hasil panen daun ketela rambat milik wanita itu. Si wanita menawari Siti barangkali ingin mengambil sebagian daun ketela untuk dimasak sayur asam atau direbus untuk lalapan. Siti berhenti, lalu menggeleng tanda penolakan. Meskipun dia sebenarnya mau, tetapi tidak enak menerima pemberian tetangga di saat semua orang butuh makan kenyang. Beberapa ikat daun ketela yang bila dijual uangnya tidak seberapa itu, barangkali lebih dibutuhkan oleh tetangganya.

Si wanita tetangga rumah itu lantas bertanya hendak ke mana perginya Siti. Sesungguhnya sudah pasti menyusul Kero yang tiap pagi pergi ke sawah. Namun, para wanita memang kerap mencari-cari bahan omongan. Mereka saling bertanya kabar sedikit, berbagi gosip murahan, lalu saling menganggap diri mereka lebih baik dari yang lain. Tak lupa, ditutup dengan doa-doa sok suci tanpa cela dan berharap dijauhkan dari segala bahaya dan fitnah dunia.

Siti kemudian berkata dia hendak meneruskan jalannya menuju sawah. Si wanita mengangguk, menyilakan Siti pergi. 

Lihat selengkapnya