Jarwo melihat Waluyo di pos garnisun dekat balai desa. Dia yang semula hendak berkeliling lantas mengurungkan niat lalu menghampiri putra satu-satunya itu. Jarwo memarkirkan motornya di sampling pos. Pos itu hanya seluas empat kali empat meter, berdinding papan, dan menggunakan atap seng bekas. Sama sekali tidak mewah ataupun besar. Pos itu hanya pos sementara, yang dibuat oleh warga karena terpaksa menuruti perintah dari garnisun. Setiap hari, sekitar lima sampai sepuluh orang bergantian berjaga dan berkeliling ke desa-desa. Termasuk juga keliling di Desa Dawan.
Waluyo menoleh ketika mendengar suara motor GL bapaknya. Tiga anggota garnisun yang bersama Waluyo sontak berdiri menyambut Jarwo. Mereka melakukan hormat, Jarwo pun membalas dengan sikap hormat.
Jarwo meminta putranya untuk menyingkir dari yang lain. Jarwo menjauh, Waluyo mengikuti dari belakang. Jarwo ingin tahu, mengapa Waluyo tidak pergi melakukan sesuatu yang lain. Justru Waluyo malah terus berkeliaran di wilayah desa-desa tempat Jarwo bertugas. Jarwo mengingatkan putranya, bahwa Waluyo bukan anggota garnisun, jadi tidak perlu ke sana-kemari bersama para garnisun yang lain. Seandainya dulu Waluyo lolos tes masuk akademi, tentu beda ceritanya.
Jarwo sengaja mengolok putranya sendiri. Waluyo menyadari itu. Waluyo pernah mendaftar di akademi, tetapi tidak lolos tes fisik. Waluyo mengenal rokok dan minuman keras sejak SMP. Waluyo punya uang, jadi dia pikir bisa membeli semuanya. Jarwo pun jarang di rumah, selalu dinas dan sering berhari-hari tidak pulang. Di rumah hanya ada almarhumah ibu Waluyo, yang tentu saja tidak mampu menghadapi sikap keras kepala dan seenaknya Waluyo yang menurun dari Jarwo.
Nasib buruk memang tidak bisa ditolak apalagi dihindari. Jarwo menyesal telah membiarkan Waluyo bergelimang uang. Sehingga Waluyo tumbuh dengan mengandalkan Jarwo. Jarwo menyesal telah membesarkan seorang pecundang. Lebih menyesal lagi setiap teringat istrinya yang telah tiada akibat serangan jantung. Jarwo diam-diam kerap menyalahkan diri sendiri sebab merasa bertanggung jawab atas kematian istrinya. Jarwo kerap berpikir barangkali bila istrinya lebih jujur tentang kelakuan Waluyo, Jarwo bisa membantu membenahi anak itu. Namun, sekali lagi, penyesalan yang datang selalu saja tidak berguna. Seandainya Jarwo menembak mati putranya pun tidak dapat menghidupkan kembali sang istri. Malah dua orang dalam keluarganya mati semua.
Jarwo menatap Waluyo dengan segunung penyesalan dan ketidaksukaan. Namun, dia berusaha tidak menunjukkanya. Jarwo ingin memperbaiki hubungannya dengan Waluyo, seandainya itu masih bisa diperbaiki. Jarwo hanya bisa berharap kehidupannya yang buruk tidak bertambah parah. Jarwo menganggap keberadaan Waluyo setidaknya tidak menambah kekosongan hidup yang menempel di punggung Jarwo.
Kepala Jarwo begitu ruwet sehingga dia tidak terlalu mendengarkan penjelasan dan pembelaan diri dari Waluyo.
Waluyo mengatakan dia ingin di sana untuk membantu mencari sindikat yang masih berkeliaran. Dia menerima kabar bahwa Anggoro punya komplotan. Waluyo juga membantah, bahwa sebelum-sebelumnya dia sudah meminta izin pada Jarwo. Seingat Waluyo, Jarwo sudah mengiyakan. Waluyo jadi bingung mengapa ditanya-tanya lagi tentang perkara yang pernah dia bahas sebelumnya.
Jarwo terkejut mendengar pengakuan putranya. Dia tidak merasa pernah diajak membahas tentang komplotan Anggoro. Tidak pernah. Jarwo belum pikun. Dia masih sehat dan waras. Jarwo ingin membentak karena kesal, tetapi setelah melirik pada para garnisun, Jarwo memilih diam. Dia membiarkan Waluyo melakukan yang ingin dilakukan. Jarwo menjaga martabatnya sebagai bapak yang baik dan menjaga nama Waluyo sebagai putra yang berbakti.