Setibanya Waluyo di tepi sungai. Tidak ada apa-apa yang bisa ditemukan. Seorang pria yang bersamanya berkata, di harapan mereka tadinya ada mayat tergeletak. Mayat itu tidak ditutupi sesuatu, dibiarkan miring dan bersimbah darah. Tidak ada warga yang berkerumun. Si pria yang menemani Waluyo bercerita sambil menunjuk-nunjuk tepi sungai. Bahwa di sana dia melihat sebujur mayat yang tampak kaku.
Waluyo percaya. Dia sedikit pun tidak meragukan pengakuan pria yang mengantarnya. Waluyo berterima kasih, kemudian memberikan sejumlah lembar yang seribuan. Waluyo mengizinkan pria itu pergi. Dia bisa kembali ke desa tanpa ditemani. Si pria tampak begitu senang. Dia berterima kasih sambil membungkuk-bungkukan badan. Semua orang mengalami kesulitan pangan dan sulit mendapatkan uang, oleh karenanya sedikit uang yang diberikan oleh Waluyo terkesan begitu berarti.
Waluyo maju beberapa langkah sampai tepat di tepi sungai. Tidak ada tanda-tanda ada mayat di sana. Waluyo yakin, tubuh tak bernyawa siapa pun itu sudah dipindahkan dan diangkut ke tempat semestinya. Waluyo lantas merogoh sakunya. Dia mengambil rokok lalu menyalakannya sebelum berbalik dan pergi.
Dalam benak Waluyo muncul berbagai macam kecurigaan, tentang siapa korban penembakan itu. Mengapa dirinya tidak tahu tentang adanya eksekusi, apakah Jarwo sengaja menyembunyikannya dari Waluyo. Ataukah orang lain yang memberi perintah, bukan sang ayah. Waluyo perlu mencari tahu jawabannya atau dia bisa tidak tenang karena dipenuhi rasa curiga.
Sekitar dua puluh meter dari tepi sungai, ada dua bapak-bapak tua yang sedang beristirahat dari aktivitasnya mengeruk pasir sungai. Orang-orang di desa biasa mengeruk pasir lalu menaikannya ke daratan. Ketika musim kemarau, gundukan-gundukan pasir banyak dijumpai di tepi-tepi sungai. Gundukan pasir itu dijual untuk bahan pondasi rumah. Konon, orang-orang desa percaya pasir dari dasar sungai lebih kokoh dibandingkan dengan pasir hitam dari laut.
Waluyo menghampiri bapak-bapak itu. Dia menawarkan rokoknya. Tentu saja disambut sukacita oleh mereka. Sembari mengepulkan asap-asap putih pekat ke udara, Waluyo mulai menceritakan adanya korban eksekusi setelah Anggoro. Waluyo bercerita dengan sangat meyakinkan, seolah-olah dia menyaksikan sendiri peristiwa yang terjadi. Dia juga menyebutkan ciri-ciri umum si korban. Sesungguhnya, Waluyo hanya tahu korban itu laki-laki, lainnya dia mengarang saja. Tujuannya agar bapak-bapak itu percaya pada ucapan Waluyo. Di akhir dongengnya, Waluyo membubuhkan peringatan bahwa operasi masih gencar dilakukan untuk mencari gali-gali yang barangkali bersembunyi di salah satu rumah warga desa. Atau barangkali ada warga desa yang tergabung dalam operasi meresahkan milik Anggoro. Waluyo sengaja menakut-nakuti dua bapak tua itu.
Setelah puas menyebar isu, Waluyo pamit pergi. Dia terus berjalan menuju balai desa lagi. Sepanjang jalan, Waluyo beberapa kali berhenti untuk menceritakan hal serupa. Dia sempat bercerita pada sekerumun ibu-ibu, pada sekelompok remaja tanggung yang duduk-duduk di pos ronda, bahkan pada anak-anak SD yang bermain kelereng di pinggir lapangan.