Martinah berguling miring ke kanan. Pandangannya kosong menatap dinding kayu kamarnya yang hitam karena debu yang menumpuk sekaligus lapuk dan menua. Sudah beberapa malam dia tidak bisa tidur karena memikirkan kedatangan Waluyo dan Jarwo. Martinah tidak ingin anaknya diambil oleh mereka. Martinah tidak mengenal mereka, dari mana asal mereka, seperti apa keluarganya. Terlebih, Martinah tidak tahu bagaimana tabiat mereka di luar sana. Martinah takut Rusmini akan celaka ketika bersama keduanya. Bagi Martinah, Waluyo dan Jarwo adalah orang asing. Orang asing berbahaya yang perlu dijauhi.
Rusmini pun terjaga di kamarnya. Dia sama seperti sang ibu. Rusmini bisa menerima laki-laki manapun yang menginginkan dirinya untuk menikah. Namun, mengapa harus Waluyo? Mengapa harus dia yang berniat menikahinya? Rusmini sungguh takut. Dia tak sanggup membayangkan dirinya diboyong oleh Waluyo.
Namun, Martinah dan Rusmini tahu mereka tidak punya kuasa apa-apa untuk menolak pertemuan kedua keluarga. Martinah tidak berani menolak atau membatalkan. Sungguh tiada sedikit pun keberanian melakukannya, meski itulah yang Martinah inginkan untuk putrinya. Sebab terus berpikir, Martinah jadi berkeringat. Cuaca malam itu terasa gerah sehingga Martinah makin tidak bisa tidur. Dia bangun, lalu keluar kamar. Dia perlahan menghampiri kamar Rusmini.
Gadis itu juga belum tidur. Dia mendengar langkah kaki ibunya di luar kamar. Dia kemudian menoleh ke arah pintu yang hanya tersekat oleh kain. Sang ibu mengintip. Keduanya saling pandang, sebelum akhirnya Martinah masuk kamar Rusmini.
Martinah lantas duduk di tepi tempat tidur putrinya. Rusmini bangun, lalu menurunkan kedua kakinya, sehingga dia duduk bersebelahan dengan sang ibu. Keduanya diam selama beberapa saat, Martinah lantas berkata, Rusmini tidak harus menerima Waluyo sebagai suami.
Rusmini boleh menolak. Namun, Martinah tidak menyatakan ketakutan yang menanti mereka seandainya Rusmini benar-benar menolak lamaran Waluyo. Martinah tidak tahu seperti apa Waluyo dan Jarwo. Bagaimana pula tabiat asli mereka. Sama sekali tidak ada bayangan tentang semua itu. Martinah tidak mau anaknya terjebak dalam pernikahan yang menyengsarakan, dan tidak ada cinta di dalamnya. Kemiskinan bisa dilewati berdua dalam berumah tangga, apabila suami-istri saling mengerti, menyayangi, dan mengasihi. Semua terasa baik-baik saja, itulah yang Martinah rasakan dulu. Dia bertahan hidup demi Tejo. Sementara Tejo berjuang demi istrinya. Keduanya saling merapatkan genggaman setiap kali badai rumah tangga menerjang.
Pernikahan adalah ibadah terlama. Lama sekali sampai maut memisahkan. Rusmini tidak boleh menjalani pernikahan itu sendiri, berjuang sendiri, mengabdi sendiri, tanpa timbal balik yang sepadan. Mustahil pula Waluyo mencintai Rusmini karena mereka tidak saling mengenal satu sama lain.