Siang itu, selang satu hari setelah acara pernikahan kecil-kecilan di rumah Rusmini, terjadi perdebatan sengit antara Waluyo dan Martinah. Waluyo ingin mengajak Rusmini keluar dari rumah, intinya, pergi dari rumah dan tinggal di tempat Waluyo sendiri. Namun, Martinah menganggap keinginan Waluyo itu menyalahi adat. Dalam adat kebiasaan Jawa, pengantin baru boleh leluar rumah si mempelai setelah sepasar. Sepasar adalah setelah empat hari berselang, atau setelah melewati satu hari Jawa yang sama ketika menikah. Karena Waluyo dan Rusmini menikah hari Rabu Legi, maka sebaiknya mereka menunggu sampai hari Legi atau setelah Legi berikutnya.
Waluyo tahu tentang adat itu, tentu saja dia tidak bodoh. Namun, Waluyo tetap bersikeras. Menurutnya, melanggar adat yang tidak masuk logika semacam itu bukanlah jadi masalah. Waluyo tidak mengindahkan permohonan Martinah agar menantu dan anaknya tinggal di rumah dulu sampai sepasar.
Rusmini duduk diam mendengarkan perdebatan Martinah dan Waluyo. Dia sudah telanjur berkemas karena berpikir Martinah tidak akan menghalangi kepergiannya. Bukan Rusmini tidak tahu tentang adat yang berlaku untuk pengantin baru, tetapi dia bisa apa. Rusmini tidak bisa membela atau memihak salah satu di antara suami atau ibunya.
Martinah menangis, sejujurnya tak siap berpisah dengan Rusmini. Bukan adat atau apa pun yang mendasari ketidaksetujuannya. Dia hanya tidak menyangka Rusmini akan keluar dari rumah secepat itu. Martinah pun tak meminta Waluyo untuk hidup bersama di rumahnya, tetapi ditinggal Rusmini begitu menyakitkan bagi Martinah.
Martinah sudah tak memiliki siapa-siapa selain putrinya. Lantas Rusmini pada akhirnya pun pergi ke rumah sang suami. Martinah menangis sesenggukan. Tangannya sibuk mengelap pipi yang basah oleh air mata. Meski begitu, Waluyo tidak berubah pendirian. Dia tidak terbiasa tinggal di rumah orang lain, dan jauh lebih buruk dari rumah yang pernah dihuninya selama hidup.
Diam-diam, Waluyo menganggap rumah Rusmini tidak layak untuk ditinggali. Genteng yang bolong-bolong, kayu-kayu dinding pun banyak yang berlubang karena lapuk. Rumah Rusmini bahkan tidak berpondasi, hanya berdiri di atas tumpukan batu-batu seadanya. Bagian yang paling tidak Waluyo senangi adalah tempat mandi yang letaknya di luar rumah. Waluyo sebenarnya jijik setiap kali ke kamar mandi yang seperti kadang kambing, hanya berlapis kepang bambu yang membentuk kotak kecil. Kamar mandi itu tanpa atap, dan apabila berdiri, kepala Waluyo menyembul bisa melihat ke luar kamar mandi. Tinggi kepang bambu yang menjadi dinding kamar mandi hanya setinggi satu setengah meter. Waluyo tidak terbiasa dengan semua itu, dan sebab itulah dia tidak mau tinggal di sana lebih lama lagi.
Waluyo menyadari kesedihan yang juga melanda Rusmini. Sang istri hanya menunduk dan tidak mengatakan apa pun tentang kepindahannya. Oleh karena itu, Waluyo berkata, dia akan berusaha untuk sering berkunjung, meski tidak menginap. Waluyo, nanti mungkin akan membeli motor atau sepeda yang baru agar bisa dipakai untuk bepergian. Jarak rumahnya dan rumah Martinah hanya sekitar setengah jam memakai motor, tidak sampai keluar kabupaten. Mendengar itu, Rusmini mendongak. Dia tersenyum sedikit, meski masih diselimuti kesedihan.