Rombongan penempatan alias pembuang mayat yang dikomandoi langsung oleh Jarwo, tiba kembali di pos penjagaan. Gun dan rekannya bersiap membersihkan diri lalu tidur sesaat, sebelum mereka menggantikan tugas jaga di pagi hari. Jam menunjukkan pukul tiga. Semua orang lelah dan letih termasuk juga Waluyo dan Jarwo. Oleh karena itu, mereka tidak bersemangat, semua jadi terlihat murung, lebih-lebih Waluyo yang tampak kuyu. Mendadak dia merasa badannya demam, tetapi Waluyo tidak mungkin mengakuinya di depan sang ayah atau para garnisun.
Waluyo tengah menenggak air dari botol ketika dia melihat Jarwo masuk ke dalam pos. Jarwo melepas jaket yang dia pakai sepanjang perjalanan, rambutnya yang sudah memutih tidak beraturan bentukannya. Waluyo menunda minum airnya. Dia segera menyongsong keberadaan Jarwo. Waluyo tanpa basa-basi mengatakan ingin bicara dengan Jarwo. Dia tidak bisa mengatakan apa yang hendak diucapkannya di sana. Waluyo mengajak Jarwo keluar pos.
Jarwo begitu kesal melihat perilaku anaknya. Waluyo yang kurang sopan santun kepada orang tua. Akan tetapi, mau dibunuh pun percuma. Waluyo sudah dewasa, tabiatnya sudah terbentuk. Baik atau buruk, semuanya adalah salah Jarwo sendiri yang tidak ikut andil dalam pengasuhan sang anak. Mau menyalahkan sang istri pun, dia lebih dulu menuju pemakaman dan tidur selamanya. Jarwo berbalik, lalu berjualan keluar pos tanpa kata.
Waluyo mengikuti Jarwo dari belakang. Keduanya lantas berhenti di samping kanan pos jaga. Jarwo menyadarkan punggungnya di dinding pos. Jarwo menyilangkan tangan di depan dada. Jaketnya tersampir di bahu kanan.
Waluyo berterus terang tentang ketidaksetujuannya atas kematian Kero. Waluyo sudah mendengar dasar eksekusi yang dijatuhkan pada Kero. Akan tetapi, semua itu butuh penyelidikan terlebih dulu. Butuh saksi-saksi untuk menguatkan laporan bahwa Kero termasuk gali atau termasuk sindikat penjualan narkoba seperti Anggoro. Semua itu butuh proses panjang dan teliti.
Jarwo seketika menunjukkan air muka tidak senang karena kelancangan putranya. Dia menyanggah, bahwa Jarwo adalah komandan, apakah Waluyo menganggap dirinya lebih pintar dan lebih teliti dibandingkan seorang komandan yang bertugas? Waluyo menggeleng dua kali. Dia tidak bermaksud demikian.
Waluyo hanya tidak mau orang-orang menganggap garnisun main hakim sendiri, melakukan pergerakan dengan buru-buru dan tidak pandang bulu. Saat itu, warga desa sudah menganggap para garnisun adalah kelompok menakutkan dan harus dihindari. Garnisun bukannya disegani, tetapi malah dipandang jijik seperti hama. Penduduk desa itu hanya ingin menyelamatkan diri masing-masing, mereka bukan segan, bukan juga merasa tertolong oleh keberadaan para garnisun. Siapa yang tahu pula, apabila mungkin warga mengutuk para garnisun karena telah menebar teror dan ketakutan. Waluyo tidak ingin warga desa melawan. Jumlah mereka lebih banyak, seandainya warga menyadari kekuatan mereka, maka garnisun akan kalah. Kalah secara jumlah. Waluyo tidak mau mati konyol. Dia juga tak mau sang ayah terluka, tetapi Waluyo menyimpan bagian itu di hatinya.