Dia yang Tanpa Nama

Yayuk Yuke Neza
Chapter #21

Rindu-rindu

Martinah berjualan keliling seperti biasa. Dia menggantikan Rusmini, demi bertahan hidup. Dia kerap ditanya-tanya tentang pernikahan putrinya. Kabar pernikahan Rusmini dan Waluyo tampaknya didengar oleh sebagian besar penduduk bahkan orang-orang dari desa lain. Martinah pun tak berniat menutup-nutupi kebenaran tentang pernikahan putrinya dengan putra komandan garnisun.

Tak jarang, reaksi orang yang bertanya terlihat mencemooh atau menghina. Entah apa yang mereka pikirkan, Martinah tidak mungkin tahu semuanya. Dia coba memadamkan perasaan curiga ataupun mengeluh, menganggap sikap orang lain hanya sekadar bentuk peduli saja. Martinah menjaga sikapnya agar selalu ramah. Dia bukan mau mencari musuh, tetapi mencarti orang yang mau membeli dagangannya.

Satu hari, Martinah berkeliling seperti biasa. Dia membawa keripik singkong dan keripik pisang olahan sendiri. Jalanan licin sebab gerimis datang ketika Subuh menjelang sampai matahari menyembul dari sisi Timur. Orang-orang sudah telanjur senang karena berharap musim hujan akan segera datang. Dia menuju desa yang terjauh berbatasan dengan jalan provinsi menuju kecamatan. Pagi itu, kali ketiga Martinah berangkat ke sana. Entah apa yang dipikirkan, dia merasa senang setiap kali menatap jalan raya. Martinah tahu, jalan raya besar itu adalah jalan menuju kecamatan yang merupakan jalan satu-satunya menuju Desa Gori. Tanpa sadar, Martinah tengah merindukan Rusmini. Padahal baru dua minggu berlalu sejak Rusmini datang berkunjung ke rumahnya.

Saking rindunya, Martinah kerap sengaja turun dari sepeda lalu menuntun benda itu setiap kali melewati pos garnisun. Dia berharap bertemu dengan Waluyo. Martinah ingin sekadar melihat menantunya. Andai dia berani, Martinah berpikir tiada salahnya bertanya tentang kabar Rusmini pada Waluyo. Angan-angan semu semacam itu berkali-kali berhasil membuat harapan di hati Martinah melambung. Sayangnya, batang hidung Waluyo tak terlihat sama sekali. Terpikir pula dalam benak Martinah untuk mencari tahu rumah tinggal Rusmini. Namun, Martinah pun tidak tahu tepatnya di mana Desa Gori. Apakah desa itu luas? Apakah orang-orang di sana mengenal putrinya atau menantunya, dengan apa Martinah sampai ke sana? Semakin dipikirkan, kepala Martinah makin berdenyut nyeri.

Bayangan tentang Rusmini memudar saat seorang pria mengapa Martinah. Si pria tua itu, seorang kakek, rambutnya hampir memutih sempurna. Namun, perawakan si kakek yang berdiri tegap menyiratkan bahwa kakek itu bukanlah orang miskin. Pria seusia si kakek pasti bungkuk atau jalannya miring-miring apabila dia termasuk golongan miskin. Pria miskin telah terbiasa memeras keringat dan memakai daya otot mereka sejak usia belia, ketika renta mereka tidak lagi berdiri tegap sempurna karena ototnya sudah tidak normal.

Si kakek bertanya, apa gerangan yang Martinah bawa. Si kakek barangkali ingin beli. Martinah mengeluarkan sebungkus keripik pisang. Martinah mengeluarkan bungkusan lain yang sudah terbuka agar si kakek bisa mencicipi, itu juga bila si kakek masih punya cukup gigi untuk mengunyah dengan baik. Si kakek mengambil satu keping keripik lalu memakannya. Dia manggut-manggut seolah-olah sedang mendengarkan orang bicara. Selang beberapa saat, si kakek berkata, dia ingin membeli dua bungkus.

Kakek itu mengaku dia baru melihat Martinah. Si kakek penasaran, makanya memberhentikan Martinah. Dia pun berkata jujur, sempat curiga pada Martinah.

Lihat selengkapnya