Rusmini di rumah sendirian sampai malam menjelang. Dia lapar, belum makan sejak siang karena berpikir hendak menunggu Waluyo saja. Dia ingin menemani suaminya makan. Selain itu, Rusmini pun tidak berselera makan. Dia duduk di belakang pintu, sesekali mengintip dari lubang celah papan dinding rumahnya. Sudah beberapa hari Waluyo selalu pulang larut. Rusmini tidak tahu apa yang dikerjakan suaminya di luar sana. Rusmini ingin bertanya, setidaknya berharap sang suami bercerita, tetapi tidak ada kesempatan untuk duduk berdua.
Ketika di rumah, Waluyo hanya tidur, duduk minum kopi, lalu mendengarkan radio, sesekali saja mengajak Rusmini bicara. Itu pun tidak lebih sekadar meminta Rusmini membuatkan sesuatu atau membelikan rokok. Waluyo bertanggung jawab secara lahir dan batin. Waluyo memberikan uang pada Rusmini, bahkan sangat cukup. Rusmini tidak kekurangan uang. Kadang, belum habis uang belanjanya, Waluyo sudah memberikan lagi. Namun, hal itu terkadang membuat Rusmini sedih karena teringat pada Martinah. Rusmini kerap bertanya-tanya apakah sang ibu sudah makan, apakah ada makanan, apakah Martinah sehat. Semakin hari, pikiran Rusmini semakin tersita oleh banyak hal yang membuatnya sedih.
Sesungguhnya, Rusmini ingin meminta Waluyo mengantarkan ke Desa Dawan. Rusmini ingin menginap di rumah ibunya, meski hanya semalam saja. Namun, Rusmini pun tak tahu harus mulai dari mana mengatakannya. Rusmini takut pada Waluyo. Dia segan karena merasa belum mengenal Waluyo dengan baik, takut salah bicara, dan Jarwo adalah alasan takut lainnya.
Mendadak perut Rusmini melilit. Dia merasakan perih dan panas luar biasa di ulu hati. Dia bangkit, lalu mengambil ceret air minum. Rusmini menenggak beberapa kali, tetapi rasa tidak nyaman itu belum mereda. Perutnya terasa kembung penuh air, sementara dia sendiri belum makan apa-apa.
Ketika Rusmini meletakkan kembali gelas minum di meja dapur, samar-samar terdengar suara dari luar rumah. Suara langkah kaki dan gumaman-gumaman. Rusmini beringsut mundur tanpa sebab. Dia teringat kejadian yang dialaminya siang kala itu, saat dia di rumah sendirian, diseret ke balai desa oleh para tetangga dan juga Waluyo. Kenangan itu menimbulkna ketakutan hebat. Rusmini rasanya bisa mendengar detak jantung yang menggila. Tak berselang lama, terdengar suara pintu diketuk dari luar. Mula-mula suara itu pelan, kemudian berubah menjadi cepat dan seperti tidak sabar. Gumaman-gumaman mereka pun rasanya kian dekat.
Di antara kebingungan yang melanda, Rusmini berusaha berpikir jernih. Mungkin itu warga, barangkali terjadi sesuatu di Desa, kebakaran, kemaliangan atau yang lainnya. Rusmini membisikkan mantra pada diri sendiri bahwa dia tidak perlu takut. Rusmini tidak pernah berbuat buruk pada siapa pun, bahkan belum mengenal orang-orang di Desa Gori. Tidak mungkin ada yang salah dengannya, ataupun dengan Waluyo.