Waluyo berniat mendatangi sebuah rumah kecil yang terletak tepat di belakang kantor kecamatan. Di dalam rumah itu, sudah menunggu beberapa orang suruhan Waluyo. Untuk menghindari kecurigaan warga sekitar, Waluyo menyuruh si kusir andong berhenti agak jauh. Waluyo berkata, dia tidak akan lama. Setelah urusan selesai, Waluyo meminta agar si kusir mengantarnya pulang ke Desa Gori.
Kusir kuda itu tidak punya pikiran aneh-aneh. Dia mengira, Waluyo hendak menagih utang. Masuk akal sekali apabila orang berduit seperti Waluyo pantas mengutang orang lain. Si kusir sering melihat lintah darat di kampungnya. Di pasar malah lebih banyak lagi. Dia manggut-manggut saja tanpa berpikir macam-macam. Kusir itu segera memberhentikan andongnya di pinggir jalan, tepat di bawah tepi pohon mahoni. Dia melihat Waluyo pergi menuju belakang kantor kecamatan. Tadinya, sempat terpikir oleh si kusir, Waluyo hendak mengurus sesuatu di kantor itu. Rupanya dugaannya salah. Sembari menunggu, si kusir duduk bersandar di pohon sambil kipas-kipas memakai topi capingnya.
Waluyo berlari kecil ketika menyeberang jalan lalu menyelinap di gang sempit di sebelah pagar kantor kecamatan. Saat Waluyo muncul keluar dari ujung gang, dua orang yang berjaga di depan rumah kumuh di situ segera bangkit. Dua pria sangar itu membuang puntung rokoknya, lalu terpaksa mengepulkan asap yang masih menumpuk di tenggorokan. Salah satu dari pria itu batuk-batuk kecil karena tersedak.
Waluyo menggerakkan kepala ke arah pintu, hendak memastikan tugas mereka terlaksana. Salah satu pria membukakan pintu untuk Waluyo. Waluyo merangsek masuk.
Di hadapan Waluyo, ada tiga orang terikat di kursi kayu. Mata tiga orang tawanan tertutup rapat. Wajah tiga orang itu penuh darah, baju yang mereka kenakan pun berlumuran darah. Di belakang tiga orang yang tengah ditahan itu, ada empat pria sangar lain. Pria-pria sangar di sana adalah orang-orang suruhan Waluyo.
Salah satu tawanan menangis, merengek minta ampun. Dia mengaku tidak tahu siapa Waluyo sebenarnya. Mereka hanya bawahan yang ditugaskan untuk memukuli Waluyo. Tawanan lainnya mengangguk takut-takut, membenarkan pernyataan temannya. Andai mereka tahu bila Waluyo adalah putra Jarwo, mereka tidak akan berani.
Dua hari sebelumnya, ketika Waluyo berjalan pulang setelah mengantarkan barang, tiba-tiba dia disergap. Posisinya tidak menguntungkan, dia sendirian. Orang-orang yang menyergap Waluyo keluar dari kebun tebu. Mereka memukuli Waluyo sampai tak berdaya. Waluyo tak sadarkan diri. Beruntung, ada warga desa yang malam itu pergi menyuluh, mencari katak. Dua orang yang mencari katak awalnya mengira Waluyo hantu.
Betapa anehnya ada sesuatu teronggok di perbatasan desa yang sepi, di antara kebun tebu. Waluyo saat itu sudah setengah sadar. Dia mengerang kesakitan. Dia mengerang makin keras ketika menyadari samar-samar melihat ada dua orang pencari katak di kejauhan.
Dua warga yang menemukan Waluyo lantas berteriak meminta tolong. Sampai akhirnya, beberapa orang lain muncul entah dari mana. Mereka membantu Waluyo berdiri. Ada juga yang memberikan minum. Waluyo tidak mengenali satu per satu siapa orang yang telah membantunya. Namun, dalam hati, dia akan memberikan imbalan uang pada mereka seandainya Waluyo tahu siapa saja mereka yang telah menyelamatkan nya.