Dua garnisun yang mengawal Waluyo remuk dipukuli, disabet senjata tajam, ditendang-tendang. Keduanya pingsan, hampir mati. Waluyo masih sadar, tetapi dia tidak bisa bangun. Hendak berteriak minta tolong pun tidak kuat lagi. Paha Waluyo terkena sabetan parang, terdapat luka robek memanjang dari pangkal paha sampai lutut. Darah segar menggenang di sekitar Waluyo.
Waluyo dalam posisi miring ke kiri. Dia berusaha bangun untuk duduk, tetapi tidak sanggup. Dada kirinya pun terluka. Kemeja yang Waluyo kenakan pun penuh darah. Dia merasa ajalnya sudah dekat. Ingatan-ingatan silih berganti memenuhi kepalanya. Dia ingat bayangan tubuh Anggoro yang jatuh menyentuh tanah. Dia ingat mayat Kero yang tergeletak di tepi jalan, dikerubuti lalat. Waluyo pun ingat bau busuk menyengat di lubang pembuangan mayat. Waluyo jadi membayangkan pula orang lain akan menemukannya dengan kondisi mengenaskan yang tidak lebih baik dari korban eksekusi penembakan oleh para garnisun. Bedanya, Waluyo tidak mati karena ditembak.
Waluyo tertawa getir. Dia mengira-ngura kapan orang lain akan menemukan dia dan dua garnisun itu. Besok, lusa, ataukah beberapa hari kemudian. Atau barangkali, belum sampai ada orang yang datang, mayatnya sudah digondol anjing liar dan menjadi santapan malam mereka. Anjing liar memakan apa saja, termasuk mayat manusia. Bila sudah begitu, barangkali Waluyo tak dapat ditemukan, tidak dikubur, tidak pula dibuang ke lubang di tengah hutan. Atau mungkin orang-orang yang melukainya akan datang lagi untuk memastikan apakah Waluyo sudah mati atau masih bernapas. Kalaupun Waluyo Selamat, dia mungkin tidak akan pulih normal seperti sedia kala.
Seketika teringat wajah ayu dan teduh Rusmini. Waluyo seperti bisa mendengar suara Rusmini setiap kali memanggil Waluyo dengan sebutan, mas. Betapa sedihnya Rusmini nanti. Betapa menderitanya dia yang harus kehilangan Waluyo, kehilangan pria harusnya melindunginya. Waluyo tanpa sadar menangis. Entah karena menahan sakit, entah karena patah hati, atau menahan sakit di sekujur tubuhnya yang tercabik-cabik. Waluyo menangis tergugu. Dia tak menyangka, menunggu ajal rasanya semenyiksa itu. Dia berharap segera mati, agar dadanya yang panas membara tidak membuat dia ingin muntah darah terus-menerus.
Salah satu garnisun tiba-tiba batuk-batuk. Waluyo beringsut sebisanya, semampunya, dan sekuatnya. Namun, dia hanya bergeser beberapa senti dari tempatnya semula. Waluyo melihat salah seorang garnisun muda itu bergerak-gerak, seperti berusaha bangkit. Namun, Waluyo tidak bisa melihat dengan jelas apakah garnisun itu terluka parah atau tidak. Pandangan Waluyo kabur, makin lama semakin buram dan tidak jelas. Lalu, suara-suara itu datang lagi. Kadang-kadang seperti suara Rusmini, kadang-kadang suara Jarwo, kadang pula suara itu tidak jelas siapa dan apa bunyinya.