Sekitar pukul delapan pagi, kabut masih menyelimuti jalan raya yang membelah hutan jati milik perhutani. Dari arah Utara, mendung kelabu bergelayut menakutkan, seolah-olah siap menelan daratan yang dilewatinya. Sebuah mobil bak sayur berhenti di tepi jalan setelah melewati seonggok entah apa tergeletak di tepi jalan.
Sopir mobil bak mula-mula ragu dengan penglihatannya. Dia takut-takut, mengira yang dilihatnya adalah makhluk nakal yang hendak mencelakai. Sopir itu kemudian berhenti karena penasaran, meski rasa takut masih mendekapnya erat. Dia keluar dari dalam mobil, lalu menatap sosok yang seperti perempuan tergeletak dengan posisi tubuh miring ke kiri. Sopir itu celingukan, berharap ada pengendara lain yang melintas, tetapi setelah beberapa menit, tak juga ada mobil atau truk lewat. Sial, pikirnya. Sudah kepalang tanggung.
Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, sopir itu menghampiri sosok yang membuatnya penasaran. Rupanya benar, itu adalah seorang perempuan muda. Wajahnya pucat, bibirnya biru. Si sopir mengamati tubuh lemah itu dari atas sampai ujung kaki, melihat apakah ada tanda-tanda kejahatan, apakah dia masih hidup. Si sopir mendekatkan wajahnya, memperhatikan lamat-lamat wajah si perempuan. Dia lantas mendekatkan jari telunjuknya ke dekat lubang hidung si perempuan, masih ada napas.
Tak berselang lama, terdengar suara truk mendekat dari arah berlawanan. Tampak seperti truk sayur dari luar wilayah. Sopir bak terbuka itu melambaikan tangan sambil melompat tinggi-tinggi agar terlihat. Kabut di hutan jati itu masih tebal, bahkan tidak menghilang ketika siang hari terik. Truk sayur berhenti, seperti harapan sopir bak. Dua orang keluar dari truk itu. Kemudian dua orang lainnya, yaitu buruh angkut ikut melompat turun dari bak belakang truk. Mereka berlima, berunding tentang nyawa perempuan itu. Apa yang sebaliknya dilakukan untuk menolongnya, apakah lebih baik dibawa ke rumah sakit atau puskesmas terdekat, atau bahkan bidan saja. Lantas, mereka sepakat membawa perempuan itu ke bidan, dengan pertimbangan rumah bidan adalah yang paling dekat dengan lokasi ditemukannya si perempuan.
Perempuan itu, yang tak lain ialah Rusmini. Dia seperti bermimpi tengah diangkat oleh beberapa orang. Namun, dia tidak punya daya kekuatan tersisa untuk membuka mata. Tubuhnya terasa begitu ringan, seolah-olah melayang di udara. Rusmini mendengar gumaman-gumaman, tetapi tak memahami apa yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian, kesadarannya hilang lagi. Rusmini hanya bisa melihat gelap, hampa, dan kosong.
Sementara itu, di Desa Dawan, Martinah mencari Rusmini ke sana-kemari. Dia bertanya pada orang-orang. Dia berlarian dari satu rumah ke rumah tetangga lain. Tangis Martinah tidak berhenti. Malah makin menjadi, dia meraung-raung seperti orang kesurupan. Martinah merasa begitu bodoh karena membiarkan Rusmini keluar malam. Martinah menyesalinya. Andai dia mencegah putrinya. Andai dia lebih tenang dan tidak kalut memikirkan utangnya. Andai waktu bisa diputar kembali. Semua hanya tinggal pengandaian. Martinah yang kelelahan akhirnya limbung. Dia jatuh tersungkur di perempatan jalan. Namun, tiada satu orang pun yang berniat menolongnya.
Orang-orang kadung benci. Kadung menganggap Rusmini dan Martinah adalah sumber bencana. Mereka berdua tidak pantas dikasihani, apalagi ditolong. Orang-orang justru menjadikan kesialan Martinah sebagai bahan tontonan, seolah-olah pemandangan wanita yang putus asa itu adalah lelucon yang layak mereka gunjing sepanjang hari.