Dua hari lamanya Rusmini opname di puskesmas. Dia harus menunggu kondisinya pulih dan stabil barulah diizinkan pulang. Keadaan Rusmini sudah jauh lebih baik selama beberapa hari di rumah.
Terhitung, seminggu sudah dia tinggal di rumah masa kecilnya, rumah Martinah yang diwariskan oleh Tejo. Martinah mulai berjualan keliling lagi demi mengenyangkan perutnya dan menghidupi Rusmini. Ditambah lagi Rusmini hamil, Martinah berusaha memberi makan kenyang pada putrinya, sebisa mungkin menyediakan nasi agar tidak lemas. Meskipun, nasi jagung pun tidak mengapa. Menurut Martinah, nasi jagung sudah jauh lebih bergizi dibandingkan dulu ketika dia dan Rusmini hanya makan ubi rebus.
Pagi setelah sarapan, Martinah berkata dia hendak pergi jualan seperti biasanya. Dia meminta Rusmini banyak beristirahat. Ibu hamil muda tidak boleh terlalu lelah, tidak boleh pula banyak pikiran. Martinah tidak ingin Rusmini dirawat lagi seperti tempo hari, butuh biaya banyak. Martinah pun terlalu lelah untuk bolak-balik ke puskesmas yang letaknya jauh dari rumah. Ketika proses melahirkan nanti, Martinah berniat meminta bantuan dari dukun bayi saja, lebih dekat dan lebih murah. Dukun bayi tidak mematok upah, biasanya hanya diberi uang sukarela dan dikirimi bahan makanan dari hasil panen.
Martinah pun berpesan agar Rusmini tidak pergi ke mana-mana. Orang-orang tengah menggunjingnya sebagai perempuan sial. Terbukti orang-orang membenci Martinah dan Rusmini, sampai datang ke tahlilan pun tidak mau, tetapi diberi besek mereka terima. Sungguh orang-orang di sekitarnya bertingkah bodoh dan tidak masuk akal. Martinah tidak dapat melupakan penghinaan itu. Dia benar-benar sakit hati.
Rusmini mengiyakan semua kata ibunya. Dia tidak mengatakan apa-apa, bahkan selalu mengelak setiap kali diajak bicara atau ditanyai sesuatu oleh Martinah. Sesungguhnya, Rusmini sengaja menghindari sang ibu karena takut salah bicara, takut rencananya bocor. Nanti Martinah malah ikut campur dan semuanya jadi kacau. Bahkan, Rusmini tidak mengaku apa yang terjadi setelah dia bertemu dengan Jarwo di malam tujuh hari Waluyo.
Samar-samar, Rusmini ingat dia berjalan keluar desa. Dia sendiri tidak yakin akan ke mana, apa yang mendorongnya pergi ke arah berlawanan dari jalan desa. Rusmini terus berjalan, menuju hutan jati. Dia ingat, dia sempat bertanya-tanya mengapa dia menuju hutan itu, tetapi seperti ada kekuatan yang membuatnya terus melangkah. Sampai akhirnya, Rusmini kelelahan. Tenaga yang dimilikinya terasa habis terkuras. Saat itulah Rusmini sadar dia sudah terlalu jauh masuk ke jalan raya yang diapit oleh hutan jati milik perhutani. Sekeliling Rusmini gelap gulita. Tidak ada penerangan apa pun di sana. Kabut tebal yang selalu menaungi wilayah itu membuat Rusmini menggigil kedinginan. Bahkan, Rusmini tidak mampu lagi memikirkan perkiraan waktu. Saat titik tak berdaya itulah Rusmini teringat dan seolah-olah tersadar dari sihir. Dia berniat pulang kembali ke Desa Dawan. Dia berbalik arah menuju arah desa. Setelah itu, Rusmini tidak ingat apa-apa lagi. Namun, semua cerita dan ingatannya, tidak Rusmini katakan pada siapa pun. Belakangan, Rusmini tidak percaya pada Martinah karena pendapat keduanya sering bertentangan. Rusmini tidak mau meminta pendapat ibunya yang terlalu nerimo, tidak ada usaha membela diri atau mempertahankan diri sama sekali. Rusmini ingin bertindak sesuai keinginannya. Oleh karena itu, Rusmini pikir lebih baik tidak terlalu terbuka pada Martinah. Rusmini yakin bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Rusmini masuk ke kamar setelah menutupi pintu untuk ibunya yang berangkat keliling. Alih-alih beristirahat, dia malah mengambil jilbab batik lebar. Rusmini mengenakan jilbab itu, lalu membawa beberapa lembar uang yang masih disimpannya.
Rusmini menuju pintu, membukanya, lalu celingukan sesaat demi memastikan Martinah tidak terlihat lagi. Dia mengunci pintu dari luar, lalu belok ke kanan menuju rumah Anggoro. Ada sesuatu yang perlu Rusmini bicarakan pada Siti. Ada sesuatu yang harus mereka berdua selesaikan segera, secepatnya.