"Pearl sayang, calon menantuku yang manis dan cantik. Minumannya sudah datang," kata wanita tua itu segera membawa dua cangkir teh ke ruang tamu. Lalu dia meletakannya. "Silahkan diminum, Pearl, jangan malu-malu."
Gadis itu tampak tidak menaruh curiga pada wanita itu. Dia segera mengambil cangkir berisi teh hangat yang sudah dimasukan garam sebanyak satu sendok makan. Seteguk air teh sudah masuk ke dalam rongga mulut, dahinya mengkerut, kedua mata menyipit.
"Bagaimana ini? Rasa air tehnya asin banget! Apa Ibunya Juan benar-benar gak suka ya, sama aku?" Dia tidak berani membuang air teh yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Wanita itu tersenyum licik dengan mata memincing ke Pearl. "Rasakan itu perempuan bodoh!"
"Bagaimana rasa tehnya Pearl? Enak gak buatan Ibu?"
"E-enak tante ... enak banget," jawab Pearl terpaksa menelan teh rasa garam yang asin. "T-terima kasih sudah buatin aku teh, tante!"
"Sama-sama, sukurlah kalau kamu suka teh--" Suara dering telepon menghentikan kalimat yang keluar dari dua bibir wanita tua itu. Dia bergegas mengambil ponselnya. "Rumah sakit?" gumamnya pelan.
"Pearl, sebentar ya, Ibu angkat telepon dulu!" ujarnya berjalan keluar sambil meletakan teleponnya di telinga. "Halo!" katanya, sengaja meninggikan suaranya agar Pearl mendengar.
"Maaf Ibu, kami dari rumah sakit mau memberitahukan bahwa anak Ibu jatuh pingsan, dan dokter menyarankan agar segera di operasi!"
"Apa?" pekik wanita tua itu pura-pura kaget. Hal ini sudah sering dia dengar semenjak Peige divonis gagal ginjal oleh sahabat Juan di rumah sakit. "Iya ... iya saya tau, sus! Tapi saya belum menemukan pendonor yang tepat untuk mendonorkan ginjalnya pada anak saya." Suara wanita itu dibuat sedih agar Pearl berempati dan mau mendonorkan ginjalnya pada Peige.
"Baiklah kalau begitu, Ibu. Kami mohon secepatnya diberi kabar demi keselamatan anak ibu juga di sini."
"I-iya sus, iya ... saya akan kabari suster secepatnya!" sahut wanita itu seolah sudah putus asa merawat Peige yang sakit parah. Dia mematikan sambungan teleponnya, lalu bergegas ke dalam dengan wajah memelasnya.
"Juan ... Juan gawat, Juan."
"Ada apa, Bu? Kenapa itu ketakutan kayak gitu?" tanya Juan, jari-jarinya masih bertautan satu sama lainnya dengan jari-jari Pearl.
"Peige, adikmu Juan. Dia harus segera dioperasi sekarang juga, Ibu gak tau harus bagaimana lagi." Lalu duduk di hadapan Juan dan Pearl. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Juan?"
"Ibu tenang saja, aku pasti akan menemukan orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya untuk Peige," kata Juan, pemuda itu duduk di samping ibunya kini. Berpura-pura menenangkan ibunya agar tidak cemas lagi.
"Maaf, aku tidak bermaksud menguping. Tapi siapa itu Peige? Dan sejak kapan dia sakit ginjal?" tanya Pearl penasaran. Sedari tadi ingin sekali dia mengajukan pertanyaan ini semenjak mendengarkan pembicaraan antara ibu dan anak itu.
"Peige adikku, usianya 20 tahun. Sudah 3 tahun dia melawan sakit ginjalnya," jawab Juan, wajah iba Pearl terlihat simpatik mendengar cerita Juan tentang adiknya itu.