DIADEM

Al Szi
Chapter #1

SATU

Sillana membuka matanya di pagi hari ketika ayam tidak terdengar berkokok. Memangnya siapa yang menunggu ayam berkokok, pikir Sillana. Ia menunggu ibunya yang menggedor pintunya setiap pagi buta untuk menyiapkan pakan ayam-ayam milik mereka. Jam bekernya yang berbunyi nyaring seperti lonceng gereja St. Maria tidak akan membangunkannya jika tidak dibarengi dengan teriakan ibunya yang seperti orang kebakaran rambut, kalau bukan jenggot. Ia akan berteriak menyebutkan segala jenis binatang yang malasnya menyerupai Sillana. Sapi, kerbau, babi, dan melewatkan kenyataan bahwa kucing pun binatang yang sama pemalasnya dengan babi dan kerbau. Menurutnya, kucing masih terlalu manis jika dibandingkan dengan Sillana. Ia juga akan berteriak sesuatu tentang jodoh, yang tidak akan datang pada anak gadis yang bangun siang dan tidak tahu cara membuat ayam-ayam dan kambing-kambing gemuk. Padahal ia tidak ingin tahu caranya, ia hanya ingin tahu cara menarik perhatian pria-pria bangsawan.

Ketika pagi ini Sillana terbangun, bukan karena ia mendengar bukan ayam berkokok atau suara tendangan ibunya di pintu, melainkan suara ribut-ribut di luar jendelanya Ia menendang selimutnya dan keluar dari sana dengan geram. Siapa yang menggangu tidur cantiknya di pagi buta begini? Namun betapa kagetnya ia ketika matanya, yang penuh dengan belek yang secara alami mengelem kelopak matanya itu, terbuka. Ternyata matahari telah mengintip dari sela-sela jendela kayu di kamarnya.

Kakinya segera berlari menuju jendela dan ia menyentakkannya dengan marah. Matahari telah mengkhianatinya, kokok ayam telah bertindak licik agar ia dihajar habis-habisan dengan panci besi ibunya. Kenapa tak ada satu pun tanda bahwa fajar telah datang menyapanya sedikit saja?

Ketika ia mengeluarkan sebagian tubuhnya keluar, ia bisa melihat sekerumun manusia tengah berkumpul di satu titik di depan papan kayu tua yang sudah berubah warna jadi hitam. Papan kayu tua itu digunakan oleh pihak kerajaan untuk menempel pengumuman-pengumuman penting seperti parade ulang tahun Puan Ratu yang diselenggarakan minggu lalu, atau pengumuman untuk mereka mencari seorang koki cadangan bagi istana, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan istana. Dan kerumunan manusia di sana menunjukkan padanya bahwa pagi itu telah terlalu siang untuk dikatakan pagi, karena kuda-kuda pembawa jerami sudah kembali dengan gerobaknya yang kosong, dan para penghuni desa yang sudah tak punya kerjaan lain selain berkeliaran di luar, bertukar gosip, mengantar anak-anaknya ke sekolah sambil bertukar gosip, membeli sayuran dan buah-buahan di alun-alun sambil bertukar gosip.

Di mana ibunya?

Sillana memandang lekat-lekat, menilai seberapa pentingnya pengumuman yang dipajang. Jika gadis-gadis muda seumurnya ikut berkerumun, kemungkinan pengumuman itu penting sekali. Dan ketika ia tengah mengamati, tiba-tiba seseorang menyeruak dari kerumunan itu, dan berlari segera ke dalam rumahnya!

Dengan segera ia bercermin dan menepuk-nepuk pipinya agak keras agar tampak merona, membuka topi tidurnya dan segera menyisirnya dengan rapi. Ia harus terlihat segar sebelum menyambut ibunya kembali dari kerumunan orang-orang di luar tadi. Namun belum sempat ia keluar ruangan, terdengar langkah kaki ibunya yang berat namun tergesa.

“Sillana! Sillana!”

Ia mendengar ibunya berteriak memanggilnya dengan antusias dan bersyukur bukan dengan nada mengamuk seperti yang biasa dilakukannya setiap jam empat pagi. Sillana keluar dari kamar dan dengan segera ibunya menarik pergelangan tangannya dan menyeretnya ke dapur.

“Apa apa, Bu? Ribut-ribut di luar sana mengganggu waktu bacaku yang berharga.” Ujarnya bohong.

“Omong kosong! Aku tahu kau baru bangun! Dengkuranmu bisa terdengar sampai papan pengumuman! Dan kau tidak pernah membaca.” Ibunya mendengus sebal.

“Aku tak pernah mendengkur!” Sillana balas mendengus sebal sampai ada percikan ingus sedikit menempel di lengan baju piyamanya.

“Dengkuranmu itu tidak penting diperdebatkan,” ujar ibunya tidak sabar. “Puan Ratu! Ia kehilangan diademnya! Diadem yang bertatahkan berliannya dicuri!”

“Aku tidak pernah mencurinya! Aku bersumpah demi gulungan rambutku yang terbaru!” Sillana menyentak tangan ibunya yang mencengkeramnya keras.

“Jangan tolol! Pengumuman itu mengatakan, barang siapa yang menemukan diadem kesayangan hadiah ulang tahun Tuan Raja akan diberikan hadiah dan dianugerahi gelar bangsawan. Dan mereka akan menghukum seberat-beratnya barang siapa yang mencurinya!” seakan memantul, ibu Sillana berkeliling dapur bundar dengan tungku kayu di sebelah jendela. Ia mengorek-ngorek tungku kayu dengan gagang sapu dan terbatuk ketika abu-abunya melayang-layang keluar.

“Apa yang kau lakukan?’ tanya Sillana heran melihat tingkah ibunya.

“Mencari diadem! Ayo! Kita harus mencarinya! Apa kau mau menjadi pedagang ayam potong, telur ayam dan susu kambing selamanya? Kau tidak malu menenteng-nenteng ember penuh kotoran ayam di alun-alun?”

Lihat selengkapnya