“Sudah lihat pengumuman dari Istana?” tanya Paolo tanpa rasa sakit hati. Malah pemuda itu semakin gemas dan semakin ingin mendapatkannya jika Sillana mulai bersikap tak acuh. Menurutnya, semakin galak gadis itu, maka ia telah berhasil menarik perhatiannya.
“Tentu. Aku bukan orang yang suka bangun siang sepertimu.” Ia menebar makanan ayam di sekitar kaki pemuda itu dengan sengaja. Ayam-ayam itu langsung mengerumuni pemuda itu, membuatnya susah untuk menghampiri Sillana lebih dekat. Dan Sillana bertingkah seakan-akan pemuda itu tidak ada di sana, dengan masyuk menebar kembali makanan dari ember ke sudut lain.
“Apa kau akan mencari diadem itu?” tanyanya sambil berusaha menyingkirkan ayam-ayam dari kakinya dan mendapat sambutan hening dari Sillana.
Gadis itu selalu angkuh, tidak mau menunjukkan dirinya membutuhkan harta, hanya menunjukkan bahwa dirinya pantas digelimangi harta. Paolo tidak pernah menyerah walau pun ia bukan dari keluarga bangsawan seperti tipe pria yang diinginkan Sillana. Namun ia memiliki banyak uang. Ayahnya adalah seorang penjaga keamanan alun-alun, yang setiap harinya ada dua puluh tenda yang harus menyetorkan uang padanya. Ia bisa saja menyewakan sebagian besar alun-alun untuk kelompok pertunjukan yang bisa membayarnya dua kali lipat, dan menyuruh pedagang lain menggelar dagangannya di jalanan dan tetap harus menyetorkan uang sewa dan keamanan pada ayahnya.
Paolo adalah anak laki-laki satu-satunya yang akhirnya meneruskan pekerjaan ayahnya menagih uang sewa dan keamanan alun-alun, sementara ayahnya sudah tua dan sakit-sakitan karena sehari ia bisa minum bir sepuluh botol. Ia menjadi orang yang paling ditakuti di desa.
Ketika pertama kali Paolo melihat Sillana di alun-alun, gadis itu sedang membeli perhiasan dari Nona Edlyn. Paolo menghampiri mereka dan meminta Nona Edlyn membayar biaya sewa dan keamanannya yang biasa. Sebelumnya, ia selalu mengganggu gadis yang selalu membantu Nona Edlyn menjada tendanya. Gadis itu manis dengan rambut cokelat gelap yang dikepang apik ke sisi sebelah kanan, panjang rambutnya hampir menyentuh pinggangnya. Jika Paolo meliriknya, gadis itu akan segera menunduk dan melakukan pekerjaan lain yang sesungguhnya tidak perlu. Namun ketika suatu kali ia menanyakan nama gadis itu, dengan suara lembut yang kecil ia menjawab,
“Fellona.”
Lalu ia membungkus sesuatu dengan kertas cokelat dan memberikannya pada Paolo. Ketika ia membuka bungkusan itu di jalan, ia bisa melihat sebuah anting perak dengan biji hitam di bagian tengah. Dihadiahkan untuknya dari Fellona manis yang menulis surat singkat yang memberitahunya kapan ia memiliki waktu luang setiap akhir pekan.
Paolo senang mendapat hadiah gratisan. Ia terus menggoda Fellona tanpa pernah mengajaknya pergi di waktu-waktu yang telah gadis itu sebutkan. Dan hadiah-hadiah terus berlanjut. Bukan hanya mendapat anting dengan kualitas bagus, tidak ada yang meragukan hasil kerajinan tangan Nona Edlyn dan suaminya yang bekerja sebagai penempa besi, ia juga terkadang mendapatkan satu keranjang makan siang dengan isian roti lapis daging asap tipis dan selada ditambah dua botol limun jahe dingin yang selalu dicampurnya dengan bir.
Namun ketika Sillana ada di sana, membeli hampir setengah lusin perhiasan, Paolo melupakan Fellona sejenak. Gadis itu adalah impian semua orang di desanya. Ia tidak pernah melirik gadis itu karena hingga tahun lalu, gadis itu masih pergi sekolah di kaki bukit dengan segerombolan gadis cilik lainnya. Ia tidak menghiraukan pengikut-pengikutnya yang mengatakan mereka menunggu gadis itu berumur lima belas sampai mereka bisa mengencaninya tanpa harus digiring ke tengah alun-alun dan dicambuk karena mengencani gadis ingusan. Ia tidak percaya ada gadis seindah itu sampai ia melihatnya sendiri.
“Halo, Nona,” ujarnya ketika ia melihat Sillana sedang mencoba sebuah kalung dari kerang dengan tali kulit lembu melilit lehernya yang cantik, mematut diri di hadapan sebuah cermin. “Izinkan aku membelikan kalung itu untukmu.”
Sillana terpaku melihat seorang bertubuh gempal, tas kulit melingkari perutnya, rambutnya tersisir dan tergulung rapi di puncak kepalanya, telah berdiri di belakangnya. Ia yakin ia bisa meneropong menggunakan rambut pria itu. Bajunya layaknya bangsawan, dengan mantel berwarna merah dan kemaja sewarna jelaga di baliknya. Tidak ada yang tidak mengenali Paolo, bahkan jika orang itu belum pernah bertemu langsung dengannya. Dia adalah Paolo Si Hiu, pria dengan gigi paling runcing di desa. Ia hanya tinggal tersenyum memamerkan gigi-giginya dan orang-orang pun akan takut.
“Tidak, terimakasih.” Ujar Sillana saat itu. Gadis itu meneliti pakaian murahan yang digunakan Paolo dan seakan memutuskan pria itu tidak cukup bagus untuknya, ia memalingkan wajahnya dengan segera.
Paolo mengambil uang dari tangan Nona Edlyn dengan mata masih terpancang pada Sillana yang mulai melangkah keluar tenda. Segera ia kejar gadis angkuh itu, mengabaikan tatapan penuh harap Fellona yang sudah siap dengan hadiahnya.
“Tunggu!” Paolo mengimbangi Sillana namun gadis pirang itu masih tak acuh dan terus berjalan secepat dan seanggun yang ia bisa. “Biarkan aku mengantarmu pulang.”
“Aku bisa berjalan sendiri,” ujar Sillana sambil mengangkat dagunya.
“Gadis secantik dirimu bisa berbahaya jika berjalan sendiri. Izinkan aku membawamu selamat sampai tujuan.” Paolo kembali memamerkan gigi-gigi runcingnya. Namun sebelum gadis itu sempat menjawab, seseorang memanggil dari belakang.
“Tunggu, Paolo!”
Paolo menoleh dan merasa sebal karena Fellona itu pemalu namun sangat keras kepala. Sillana melirik sedikit pada sudut matanya sementara Paolo menghampiri Fellona segera.
“Kau pergi begitu saja, aku membawakan hadiah untukmu,” ucap Fellona dengan wajah yang memerah. “Dan masihkah kau menyimpan jadwal-jadwal kosongku?”
“Tentu. Terimakasih.” Paolo mengambil hadiah dari tangan Fellona dengan cepat dan dengan senyumnya ia meningalkan gadis itu segera. Mengabaikan raut wajah kecewa dan sedikit amarah pada gadis yang ia tinggalkan, kembali menuju Sillana yang ternyata sedang menatapnya dengan tajam.
“Kau kurang ajar.” Sillana tersenyum jahat. “Katakan pada kekasihmu, aku tidak tertarik pada apa pun yang pernah menyentuhnya lebih dahulu.”