Hari berlalu dengan hampa, ketika mereka kembali berjumpa dengan air yang turun dari bumi selam a dua hari. Nyonya Abbie yang memiliki banyak pegawai masih berlanjut dengan bisnisnya karena ia kini menjajakan kue-kuenya ke dalam tempat penginapan. Wisatawan yang mendekam di dalam penginapan selama hujan sangat senang membeli kue-kue kering berbentuk diadem di sore hari dan menyantapnya dengan teh susu hangat atau kopi susu hangat. Pemilik penginapan pun senang karena artinya mereka mendapat pemasukkan tambahan dengan minuman-minuman itu.
Nyonya tua baik hati itu mengusulkan Edlyn untuk menjajakan dagangan ke dalam penginapan seperti yang dilakukannya. Ia tidak harus membayar biaya keamanan yang sangat mahal dan menghadapi Paolo dan anak-anak buahnya yang terkadang selain meminta bayaran juga meminta barang dagangan mereka. Lagipula, gerobak Edlyn masih rusak karena ia belum bisa membeli roda baru yang rusak dan patah.
Fellona setuju untuk menjajakan perhiasan-perhiasan mereka tak hanya ke tempat penginapan, namun juga ke tempat-tempat makan yang sering didatangi pengembara mau pun wisatawan. Akhirnya mereka berdua membawa barang-barang di dalam kantong dan menyusun beberapa perhiasan di atas kotak besar agar mereka bisa leluasa mencoba dan melihat-lihatnya.
“Aku akan pergi ke tempat makan di mana Paolo sering mengajakku makan, di sana terdapat makanan terbaik dan wisatawan senang makan di sana.” Fellona menawarkan diri.
Maka Edlyn dengan kotak berisi perhiasannya berjalan menyusuri bangunan-bangunan penginapan dalam jubahnya. Meminta izin pada pemilik penginapan untuk menawarkan perhiasannya pada wisatawan-wisatawan yang sedang duduk-duduk di ruang makan menikmati hujan yang mengguyur lewat jendela. Awalnya mereka agak malas-malasan melihat seorang pedagang menyambangi tempat tenang mereka, Edlyn pun hampir tidak bisa menjual satu pun perhiasannya.
Namun lama-kelamaan mereka menyukainya, mereka tidak perlu berjalan setengah mil jauhnya untuk menuju alun-alun di hari hujan. Dan suatu hari datang seorang wanita yang terlihat kaya, dengan sarung tangan jarring berwarna putih, topi lebar putih dengan hiasan bulu merak emas. Ia berpapasan dengan wanita kaya itu di lobi penginapan ketika wanita itu sedang mengeluh pada pesuruhnya tentang cuaca yang buruk dan laju kereta kuda mereka yang sangat lambat.
“Aku sangat lelah padahal aku ingin sekali berjalan-jalan di alun-alun dan kau tahu apa yang kudapat ketika aku datang? Hujan! Hujan!” wanita itu menggebrak-gebrak meja penerima tamu.
“Maaf Nyonya, akhir-akhir ini cuaca memang buruk,” sahut si penerima tamu sambil membungkuk-bungkuk sopan.
“Aku tidak menyalahkanmu,” ujar wanita itu kesal. “Aku hanya merasa sebal, kau tahu? Aku datang kemari untuk berlibur, kabur dari ibu mertuaku yang sangat cerewet. Mengeluh soal aku yang boros. Apakah kau tahu, mertuaku tidak suka aku membeli perhiasan! Memangnya aku bersolek seperti ini untuk apa? Untuk mengimbangi gelar bangsawannya, bukan? Kau tahu? Kau tahu tidak!”
Wanita itu terus mengeluh tanpa menghiraukan sekitarnya yang akhirnya jadi mengetahui bahwa wanita itu memiliki masalah rumah tangga.
“Dan suamiku itu! Dia tolol sekali! Tidak bisa bicara apa-apa di depan ibunya sendiri, malah mengirimku ke luar desa agar aku bisa bebas berbelanja dan berlibur dan bersantai.” Wanita itu tertawa terbahak. “Dia mengirimku ke luar dalam cuaca buruk dan berharap aku bisa berjalan-jalan dan belanja dengan tenang!”
Edlyn dan beberapa orang yang berada di sekitar wanita itu terpana dan membeku di tempat. Beberapa memang senang mendengar gosip langsung dari sumbernya, beberapa yang lain, seperti Edlyn, hanya kaget dengan kejadian yang berlangsung. Tidak berniat benar-benar menguping.
Edlyn melangkah berniat pergi dari sana tepat ketika wanita itu mengambil kunci kamarnya dari penerima tamu penginapan dan berbalik. Mereka bertabrakan dan membuat Edlyn menjatuhkan kotak perhiasannya ke lantai. Dengan suara bising, perhiasannya bertebaran di lantai. Dengan segera Edlyn berlutut dan membereskan perhiasan-perhiasannya dan wanita itu ikut berlutut tanpa ragu dan membantunya membereskan barang-barangnya.
“Oh, tidak usah, Nyonya. Ini salahku,” ujar Edlyn buru-buru. Wanita itu jelas sudah seorang bangsawan dan tidak pantas bagi seorang bangsawan berlutut dan memunguti barang seperti ini. Pesuruhnya pun berpikir demikian, dengan segera wanita itu diangkatnya agar berdiri.
“Tapi aku mau, ini juga salahku,” ujar wanita itu sambil mengacungkan sebuah bros yang sempat diambilnya pada pesuruhnya. Ia melambai-lambaikan bros berbentuk diadem yang terbuat dari besi tempa yang dibuat oleh Ainsley beberapa hari yang lalu, di sekitarnya Edlyn menebar manik-manik kaca sehingga tampak berkilau tertimpa cahaya lilin-lilin dan lampu minyak di penginapan.
Edlyn selesai mengumpulkan perhiasannya yang sebagian besar terbuat dari bambu, akar, ranting, kain-kain sisa, batu-batu putih dan manik-manik kaca aneka warna. Ia melihat bros yang ada di tangan wanita kaya itu dan baru ingat, itu adalah tempaan pertama suaminya untuk perhiasan.
“Maaf Nyonya, apakah nyonya menyukainya?” Tanya Edlyn ketika wanita kaya itu terpana menatap bros yang ada di tangannya. Wanita kaya itu menoleh dan tersenyum lebar.
“Ikut aku,” ujar wanita itu dengan nada memerintah yang entah mengapa terdengar sangat ramah dan menyenangkan, dan ia melangkah anggun menuju tangga penginapan, diiukuti oleh pesuruhnya yang membawakan tas-tas besar.