Siang itu Edlyn sudah bersantai di dalam rumah. Ia sudah mengantar Fellona selamat sampai di kamarnya, membantu gadis itu mengganti bajunya dan berbaring di ranjangnya, membalutnya dengan selimut. Gadis itu gemetaran dan terus menangis membuat Edlyn tidak tega meninggalkannya sendiri. Orang tuanya sedang berjualan di alun-alun. Namun ia sangat lapar. Maka ia pun segera pulang dan membuat sup kental dan membawakannya lengkap dengan sepotong besar roti gandum untuk dimakan bersama dengan Fellona.
Gadis itu tidak mau makan tetapi Edlyn memaksanya dan akhirnya gadis itu hanya mau beberapa suap. Setelah memastikan keadaan gadis itu baik-baik saja, tidak ada indikasi ingin menenggelamkan diri dalam sumur, Edlyn pun meninggalkan Fellona yang mulai tertidur. Dan kini ia sedang mondar-mandir di rumahnya, tidak sabar menunggu suaminya pulang. Ia memutar fonograf dan berusaha mengerjakan sesuatu, namun matanya akan kembali menatap dua kantong serut berisi uang-uang emas yang tergeletak begitu saja di atas meja. Ia dengan cemas memindah-mindahkah kantong-kantong itu ke dalam laci meja, ke dalam laci mangkok kayunya, di balik bantal di kamarnya, di belakang buku di rak buku kecilnya. Memiliki banyak uang ternyata menimbulkan keresahan berlebihan. Ia takut orang melihatnya, mengetahuinya, mencurinya… ah, tidak!
Edlyn lalu memasukkan kedua kantong serut itu ke dalam korset di pinggangnya dan duduk santai di depan meja kerjanya. Ia mulai menggambar kira-kira seperti apa diadem yang cocok untuk wanita kaya yang baik hati itu. Ketika senja mulai tiba dan warna jingga terlihat di garis cakrawala, ia mendengar suara-suara dari luar. Dengan segera ditinggalkannya pekerjaannya dan membuka pintu rumah. Bertapa kagetnya ia melihat suaminya digiring oleh dua orang bertubuh tegap dan besar seperti troll, mereka memasuki pagar kecil rumah bersama-sama dengan susah payah. Suaminya didorong dan dipaksa berjalan lebih cepat.
“Apa yang kalian lakukan pada suamiku!” pekik Edlyn panik sambil berlari menghampiri.
“Edlyn! Tunggu di halaman belakang!” Ainsley menatap Edlyn dengan sedih.
“Kami tidak akan menyerah kali ini, Addington!” teriak salah satu troll di samping kanan Ainsley kasar. “Bayar utangmu atau akan kuambil istrimu untuk dijadikan budak!”
Troll jahat itu melepaskan Ainsley dan langsung merenggut lengan Edlyn yang langsung menjerit kesakitan sementara Ainsley berteriak dan meronta-ronta dengan liar menyuruh troll tolol itu melepaskan Edlyn. Orang-orang di sekitar mereka mulai berdatangan, menyaksikan para penagih utang itu melakukan kekerasan tetapi tidak ada keinginan mereka untuk menolong. Tontonan seperti ini memang tidak asing lagi, banyak keluarga yang meminjam uang dan pada akhirnya tidak bisa membayarnya. Mereka diusir dari rumah dan menjadi gelandangan. Dan jika sudah terlalu banyak gelandangan pengganggu, Garde istana akan melakukan pembersihan jalanan. Mereka menyeret gelandangan-gelandangan itu ke luar desa. Tidak ada yang akan berani ikut campur, salah-salah, mereka lah yang akan terluka.
“Bawa pergi perempuan ini dan tinggalkan si pecundang ini di sini.” Pria yang mencengkeram Edlyn menyuruh temannya melepaskan Ainsley.
“Tunggu!” Edlyn menahan tangannya. “Kami akan membayar utang-utang kami hari ini juga. Lunas!”
Seketika senyap, semua orang memandang Edlyn dengan terpana. Dengan datangnya penagih hutang yang lebih menyeramkan dari Paolo menandakan si pengutang telah memiliki banyak utang dengan bunga yang juga membengkak. Semua orang telah tahu, jika kau meminjam uang pada tengkulak dan tidak bisa membayarnya dalam waktu lama, siap-siaplah menjual anakmu atau bahkan dirimu sendiri untuk dijual menjadi budak penggali batu-bara di negeri jauh.
“Kau tidak sedang berusaha menipu kami, Nyonya?” Tanya si Pria Troll Satu dengan galak.
“Biarkan aku mengambil uangnya sekarang!” teriak Edlyn dengan suara bergetar.
“Kau harus membayar beserta bunganya, Nyonya.” Pria Troll Dua mengingatkan.
“Aku bisa membayar seluruhnya!”
Para penagih utang itu saling melempar pandang dan akhirnya Edlyn dilepaskan perlahan. Dengan segera ia berlari ke dalam rumah, dengan tangan dan kaki yang gemetaran ia melangkah limbung menuju kamarnya dan membuka bajunya. Dengan gemetaran ia mengambil kantong serut di balik korsetnya dan menghitung kepingan emas di atas kasurnya. Setelah yakin dengan jumlahnya, ia masukkan uang itu ke dalam kantong serut dan kembali ia mengenakan pakaiannya dan berlari keluar.
Terengah-engah ia menyerahkan kantong serut itu ke tangan sebesar mangkok pengaduk si Pria Troll Satu. Dengan tatapan hati-hati pria itu menerima dan menghitungnya sampai dua kali, memastikan jumlahnya sesuai, dan sesekali ia memicingkan matanya dan menggigit kepingan emas itu untuk memastikan itu adalah emas asli. Setelah selesai ia memberi tanda pada si Pria Troll Dua untuk melepaskan Ainsley.
“Berpikirlah dua kali sebelum kau memutuskan menjadi orang miskin!” teriaknya keras dan mereka berdua terbahak-bahak meninggalkan tempat kejadian.
Beberapa tetangga yang menyaksikan dan merasa iba segera membantu Ainsley bangun. Tetapi mereka hanya berani mengantarnya sampai pintu lalu segera pergi. Nyonya Abbie, yang tinggal tepat di seberang rumahnya, berjalan dari tengah-tengah kerumunan membawa sekaleng kue kering berbentuk diadem.
“Sayang, kau pasti ketakutan sekali. Makanlah ini, gulanya akan membuatmu sedikit santai.” Ujar wanita tua itu sambil mengusap wajah Edlyn yang masih pucat.
Setelah mengucapkan terimakasih, ia akhirnya menutup pintu dan menatap suaminya yang sedang duduk di depan meja makan sambil menutup wajahnya. Ia mengambil baskom kaleng dan mengisinya dengan air dingin lalu mencelupkan handuk kecil ke dalamnya. Dengan perlahan ia mengompres lebam di wajah suaminya.
“Dari mana kau mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Ainsley sambil meringis nyeri.
“Aku sudah menunggumu pulang dan ingin menceritakan padamu betapa beruntungnya aku hari ini,” ujar Edlyn sambil tersenyum lemah. Dan ia mulai menceritakan segalanya tentang wanita kaya yang ia termui di penginapan.
“Itu artinya aku yang harus menempa diadem itu?” Tanya Ainsley.
“Aku memang ingin bertanya padamu dulu apakah kau bisa melakukannya,” Edlyn menunduk sedih. “Jika kau tak sanggup aku akan mengembalikan uang-uang itu besok pagi. Tapi… kita membutuhkannya.”
Ainsley menghela napas sambil mengusap kepala Edlyn dengan lembut.