Fellona kembali pulang dengan hati tak menentu, ia membersihkan diri dan tanpa makan malam ia langsung berbaring di tempat tidur memikirkan apa yang Paolo katakan. Ia tidak bisa mempercayai semua kata-kata Paolo tetapi ia pun memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Apa yang ia tak tahu tentang Nona Edlyn? Ia merasa dekat dengan wanita itu, tetapi selama ini ialah yang paling sering mengoceh tentang dirinya sendiri. Bahkan Nona Edlyn tidak pernah memberitahunya kenapa ia sering sekali ke penginapan Watson.
Tetapi, di penginapan itu memang paling banyak menginap wisatawan-wisatawan kaya. Nona Edlyn pernah pulang dengan kotak kayu yang kosong selepas berdagang di sana dan sekali waktu Nona Edlyn pernah mengatakan orang-orang kaya itu tidak pernah menawar harga. Fellona menghela napas, ia memutuskan akan mengarang cerita tentang bagaimana bisa Nona Edlyn mendapatkan uang. Bilang saja wanita itu mendapatkan lotre di suatu tempat, atau mendapatkan warisan dari keluarga jauh suaminya. Ia tidak percaya akan tuduhan Paolo pada Nona Edlyn.
Tetapi ketika pagi itu Fellona sedang membersihkan kamarnya dan mengelap jendela kamarnya, ia melihat sesosok angkuh yang berjalan dengan kepala mendongak ke langit melewati pagar rumah Nona Edlyn. Rambut pirangnya disanggul ke atas dengan rapi dan dihias dengan hiasan kepala yang indah buatan Nona Edlyn, gaun berwarna putih krimnya melambai ringan di sekitar kakinya dengan bokong yang diangkat tinggi-tinggi. Jantung Fellona langsung berdentum-dentum, ia merasakan dadanya sangat panas. Apakah Paolo benar-benar tidak mempercayainya?
Ia mengamati dari balik jendelanya ketika Nona Edlyn membuka pintu dan membiarkan ular itu masuk. Mereka duduk di depan meja kerja Nona Edlyn dan berbicara sambil ular jahat itu mematut-matut diri di depan cermin kecil yang diberikan Nona Edlyn. Kalung, anting, dan hiasan kepala dicobanya sambil ia terus bicara dan sesekali mereka tertawa. Fellona marah. Ia tidak pernah melihat Nona Edlyn lebih baik pada siapa pun kecuali dirinya. Dan ular jahat itu pastilah sedang mengorek-ngorek informasi tentang dari mana Nona Edlyn mendapatkan uang untuk melunasi utangnya pada tengkulak.
Selama hampir 30 menit akhirnya Sillana bangkit dari kursinya sementara Nona Edlyn mengambilkan kantong blacu untuk membungkus apa yang sudah dibeli si ular jahat. Dengan segera Fellona berlari ke luar rumahnya menuju tikungan yang agak jauh dari rumah Nona Edlyn. Ia tahu bagaimana Sillana berjalan, lambat seperti bekicot, maka ia harus menunggu agak lama sampai akhirnya ia melihatnya berjalan keluar dari pagar dan berjalan ke arahnya sambil memutar-mutar kantong blacu serut di jarinya. Fellona segera menarik lengannya dan menyudutkannya di papan pengumuman.
“Apa yang kau lakukan di rumah Nona Edlyn!” gertaknya marah tanpa basa-basi.
“Oh, lihat, siapakah ini yang berani bicara padaku,” ujar Sillana dengan senyum lebar yang munafik.
“Aku tanya kau!” Fellona menggebrak papan pengumuman di sebelah telinga Sillana dengan keras. Ia hampir kaget sendiri karena tiba-tiba ia memiliki keberanian, dan sepertinya si ular jahat di hadapannya pun berpikir sama.
“Apakah aku tidak boleh membeli sesuatu dari Nona Edlyn?” gadis ular itu menelan ludah dan terlihat agak takut dengan sikap Fellona namun akhirnya bisa menahan diri.
“Kau bisa membelinya di jalan!” bentak Fellona lagi.
“Dia sudah tidak berjualan di alun-alun, kau tahu itu.” Sillana menghela napas sebal, ia kini sudah mengembalikan kekuatannya untuk berani memutar matanya sebal pada Fellona.
“Kau tidak punya uang untuk berfoya-foya semenjak pekerjaanmu membawa-bawa kotoran ayam di ember!”
Kali ini Fellona yang terkejut karena tiba-tiba Sillana mendorong lengannya dan membalikkan posisi, kini ia tersudut.
“Kau pikir dengan cara menggertakku seperti ini kau bisa terlihat hebat?” dia tertawa sinis. “Tidak, sayang. Menurutku kau masih terlihat menyedihkan. Paolo tidak sabar, kau tahu? Dia harus segera menemukan diademnya sebelum orang lain.”
“Dia akan menikahiku! Dia melamarku!” Fellona melepaskan cengkraman tangan gadis ular itu dengan sekuat tenaga.