Ajudan istana mengangkat wajahnya dari catatan yang sudah menyibukkannya selama hampir satu jam dengan teliti, kacamata bacanya yang menggantung di leher seperti biasa kini dikenakannya. Tubuhnya yang sudah melengkung dekat-dekat dengan kertas-kertas itu kini bisa sedikit diregangkan karena suara ribut yang berasal dari luar telah memecahkan konsentrasinya.
Dengan dengus sebal ia mencontreng baris di mana ia terakhir membaca. Dengan keriuhan yang melebihi riuhnya Pekan Raya Pacuan Kuda Bangsawan, ia merasa harus mengecek apa yang terjadi. Jendelanya menghadap tepat ke arah gerbang istana, ia bisa melihat hampir segalanya dari sana, tinggal memutar tubuhnya 90 derajat ke arah kiri dan ia mendapatkan semua pemandangan itu.
Ia melepas kacamata rantainya dan memicingkan matanya ke kejauhan di gerbang, bisa dilihatnya hampir seperempat penduduk desa berkerumun seperti semut sambil berteriak-teriak semangat mengacung-acungkan tangannya seakan berdansa. Ajudan itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali pada kesibukkannya. Begitulah jika sekerumunan orang desa ingin menuntut sesuatu, ribut seperti segerombolan kambing yang minta diberi lobak. Ia memiliki sejuta masalah yang harus dipikirkan selain keinginan-keinginan penduduk desa yang semakin lama semakin muluk.
Tentu saja kerajaan tidak bisa membuatkan mereka Pekan Raya Pacuan Kuda seperti para bangsawan, mereka tidak memiliki kuda-kuda sehat dan gagah yang bisa berpacu. Mereka hanya memiliki kuda-kuda petani yang hanya digunakan untuk menarik kereta, mengantar barang, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan. Kerajaan juga tidak bisa membuat para petani menurunkan harga penjualan karena harga-harga lain semakin mahal. Memangnya kerajaan memiliki kuasa agar alam bisa membuat rumput-rumput pakan ternak lebih banyak dan lebih hijau.
Bukankah itu kesalahan mereka yang dengan seenaknya menjadikan lahan-lahan kosong untuk membangun rumah-rumah baru? Bukankan mereka yang menebang pohon-pohon di hutan untuk membuat rumah dan menghasilkan kursi dan meja kayu? Bukankah mereka juga yang seenaknya membeli macam-macam untuk memuaskan kehidupannya yang sesungguhnya tidak perlu?
Ah, akhir-akhir ini pikirannya sangat penuh dan itu membuatnya mengeluhkan segala yang terjadi dan mencari kambing hitam agar ia bisa melampiaskan amarahnya selain pada diri sendiri. Berawal dari diadem yang hilang beberapa minggu lalu, dan sejak saat itu Puan Ratu melakukan segalanya demi menemukan diademnya yang hilang, yang bahkan belum pernah dilihatnya. Benda sialan itu sudah membuatnya memanggil tiga cenayang dari tiga desa yang berbeda, dengan bayaran yang tidak murah, untuk menemukan jawaban bahwa diadem itu berada di ruang gelap. Dalam kegelapan. Terselimuti kabut hitam dalam gelap.
Omong kosong! Mereka memang tidak tahu ada di mana, dan mereka semua penipu. Dan ia harus mencatat agar kerajaan membayarnya dengan layak, walau dengan jawaban yang absurd dan sangat tidak membantu sama sekali pada isu yang sudah ada.
Tuan Raja pun ketakutan ketika diademnya hilang, karena ia mengatakan ia takut pengrajin itu mungkin tidak menyimpan diadem seperti yang diperintahkan. Tuan Raja tidak mau mengatakan pada siapa pun siapa pembuatnya, tidak jika Puan Ratu akan memburunya seperti serigala kelaparan. Dan ia memastikan bahwa pengrajin diadem itu seorang kakek tua dengan kacamata tunggal setebal pantat botol dari negeri jauh. Besar kemungkinan pria tua itu bahkan telah tiada dalam perjalanannya kembali menuju desanya di negeri jauh itu. Mereka tidak memiliki banyak petunjuk. Hanya sebuah diadem yang sangat indah dengan taburan berlian, yang kini telah hilang.
Ajudan itu telah mengutus banyak orang untuk mencari pengrajin tua kurang ajar yang berani-beraninya menghilang itu, tetapi mereka kembali dengan tangan kosong. Mereka telah menghabiskan banyak dana untuk membiayai perjalanan itu, dan mereka masih belum menemukannya.
“Mungkin memang bukan dia, mungkin siapa saja bisa mengambilnya, Ratuku,” ujar Raja dengan penuh sabar ketika Ajudan melaporkan bahwa lima anak buahnya telah mengelilingi desa-desa di sekitar kerajaan namun tidak menemukan keberadaan pengrajin tua itu.
“Mungkin bukan, mungkin iya. Kita tidak tahu, maka kita harus terus mencari kebenaran!” Puan Ratu sekali lagi memberi titah dan Tuan Raja pun menunduk pasrah sementara Ajudan telah kelelahan dan mereka menghabiskan uang rakyat mereka untuk mencari-cari pengrajin itu. Mereka bahkan lupa akan janji mereka menambal lubang-lubang di jalanan utama desa.
“Sahaya sudah mengutus lima, Yang Mulia Ratu, dan mereka tidak menemukan apa-apa.”
“Apakah aku harus mencari Ajudan yang lebih pintar dan cekatan? Yang bisa melakukan tugas dengan baik tanpa harus merepotkan Raja dan Ratunya?” Mata Puan Ratu terlihat berkilat-kilat berbahaya.
“Aku akan mengusulkan kau mencari pembuat perhiasan terbaik dari yang terbaik dan mendatangkannya ke istana,” ujar Raja, meredakan kilatan amarah Puan Ratu. “Akan kubuatkan lagi diadem yang lebih indah dan lebih mengilap untukmu oleh pengrajin yang lebih hebat dan lebih terampil.”
Ajudan itu membuang napas lega dengan pelan, ia sudah lelah mencari orang yang tidak diketahui wujudnya. Ia bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang orang yang memiliki keahlian tertentu dan menyeretnya ke dalam istana, tetapi mencari manusia tanpa wujud? Lupakan saja.
“Kau akan membuatkanku diadem baru?” tanya Puan Ratu dan tampak sangat bahagia ketika Tuan Raja mengiyakan dengan mantap.