Puan Ratu bersenandung senang sambil berjalan-jalan mengitari panggung singgasananya, menunggu Ajudan kembali. Raja melirik istrinya dengan bimbang dan menarik tangannya ketika istrinya itu berjalan melewatinya.
“Bukankah kita sudah setuju untuk membuat diadem baru?” tanya Raja sambil memandang ke atas ke wajah istrinya yang kini sangat cantik setelah senyum kembali merekah di bibirnya.
“Kita pun setuju, selagi diadem baru dibuat pencurinya tetap akan kita cari.” Puan Ratu duduk kembali di singgasananya.
“Tapi bagaimana kalau dia bukan pencurinya. Bagaimana kalau penduduk desa itu salah paham, mungkin diadem itu bukan milikmu,” ujar Raja lagi sambil memijat pelan jemari Puan Ratu.
“Memang siapa lagi yang mempunyai diadem selain aku?” Puan Ratu mendengus sebal.
“Bagaimana kalau ternyata diadem itu tidak pernah dicuri?” Raja mencari jalan lain untuk menenangkan istrinya yang sudah seperti serigala kelaparan, marah, dan datang bulan.
“Lalu mengapa diadem itu hilang?” pekik Puan Ratu, mulai merasa terganggu kesenangannya.
“Mungkin diadem itu terjatuh, terbawa tikus dan seseorang di desa menemukannya?”
“Oh, Rajaku yang baik, ini bukan kehidupan di mana tikus bisa mencuri kain dan perhiasan untuk dibuat baju,” sahut Puan Ratu manis yang dibuat-buat dengan mata yang bekilat, membuat Raja menciut dalam duduknya.
Puan Ratu melepaskan genggaman tangan Raja dan mereka pun duduk diam, menunggu. Dan ketika mereka mendengar puluhan kaki berderap seirama dari luar ruangan, dengan segera, tanpa diminta, Puan Ratu memberikan isyarat agar Garde membukakan pintunya.
Ketika pintu terbuka, Ajudan itu berdiri di paling depan barisan diikuti oleh puluhan orang di belakangnya seperti ular naga. Mereka berjalan menghampiri singgasana melangkahi karpet sewarna darah di lantai dan segera berlutut dan menunduk sedalam-dalamnya.
“Bicaralah!” perintah Puan Ratu dengan segera sebelum Raja belum sempat membalas hormat mereka dengan anggukan singkat. Mereka semua berdiri dengan patuh dan Ajudan segera melangkah maju.