Mereka telah kembali dari alun-alun untuk menyaksikan hukuman yang dilakukan dengan guillotine disaksikan semua penduduk desa. Raja dan Puan Ratu duduk dalam kereta kuda yang dilapis emas sambil menyaksikan pemenggalan kepala si wanita pencuri diadem, lalu setelah semuanya selesai, Garde mengambil mayatnya dan mereka pun pergi. Peristiwa itu terjadi begitu cepat dan Raja hanya bisa terdiam dalam duduknya, memandangi si wanita pencuri diadem itu dengan pandangan kosong.
Raja langsung memasuki kamar mandi berlapiskan marmer sewarna kulitnya yang megah dengan pilar-pilar ukir yang tinggi. Di langit-langit kamar mandinya, sama seperti semua langit-langit di seluruh bangunan istana, terdapat lukisan-lukisan langit biru yang tenang. Ia segera melepaskan setiap helai kain di tubuhnya dan mengisi bak mandinya. Dalam bak mandi ia menenggelamkan diri, meredam seluruh suara-suara riuh yang samar-samar terdengar dari desa.
Puan Ratu telah menitahkan Ajudan untuk membagikan buah apel dan sedikit roti pada penduduk desa. Dan kemungkinan besar si Paolo bermulut besar itu sedang merayakan dirinya yang mendadak kaya dan menjadi bangsawan. Semua orang sedang merayakan diadem yang akhirnya ditemukan, melupakan apa yang telah terjadi di alun-alun, seakan wanita pencuri itu hanya kucing tetangga kurang ajar yang mencuri ikan.
“Di sini kau rupanya.”
Suara istrinya membuatnya muncul ke permukaan. Air menciprat di sekelilingnya tetapi Puan Ratu dengan senyum masih merekah tidak keberatan menerima cipratan air di gaun lebar berendanya yang terbaru. Wanita cantik itu malah tersenyum senang dan menanggalkan seluruh pakaiannya di lantai. Membuka seluruh penjepit yang ada di rambutnya sehingga rambut sewarna jelaga itu terurai bergelombang di belakang punggungnya yang seputih pualam.
Puan Ratu merebahkan tubuhnya di dalam bak mandi besar, bergabung dengan Raja. Diademnya yang baru tak ditanggalkannya dan wanita itu menatap bayangannya di air.
“Tidakkah kau senang diadem ini akhirnya ditemukan?” tanyanya sambil menyentuh-nyentuh diademnya dengan lembut.
“Tentu aku senang sekali, Ratuku,” jawab Raja sambil ikut melihat bayangan istrinya di air.
“Apakah aku cantik memakai diadem ini?” tanya istrinya lagi.
“Tentu saja tanpa diadem itu pun kau sudah cantik, Ratuku,” balas Raja sambil memeluk bahu istrinya.
“Lain kali, janganlah kau membuatkanku kejutan kekanakan seperti itu,” ujar Puan Ratu sambil menatap Raja dengan tatapan galak yang dibuat-buat. “Diadem ini tidak harus hilang jika kau tidak menyembunyikannya.”
“Kalau aku tidak menyembunyikannya, bagaimana bisa aku membuatkan kejutan pada hari istimewamu?” tanya Raja sambil mencium pelipis Ratunya dengan sayang, dan Puan Ratu pun menyandarkan tubuhnya ke tubuh Raja dengan manja.
“Kukira kau melupakan hari ulang tahunku, Rajaku sayang,” ucap Puan Ratu manis. Terlalu manis sehingga Raja merasa bulu romanya berdiri. Manis yang terlalu manis sehingga kata-kata itu seperti ujung sembilu yang menyapu kulitnya, siap menghujam. “Kau membuatku menjadi Ratu Pemarah seharian, membuat dayang-dayangku menangis ketakutan setiap mereka melakukan kesalahan walau sedikit.”
“Tentu saja tidak mungkin aku lupa! Itulah mengapa aku membuatkanmu kejutan, agar Ratu Pemarahku merasakan kebahagiaan yang berlipat-lipat pada akhirnya. Kau adalah wanita paling istimewa.” Raja memeluk istrinya dari belakang, membenamkan hidungnya ke pelipis wanita itu dan menatap diadem yang bertengger dengan indah di atas kepalanya. Diadem yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya.
Ya.
Raja telah berbohong.
Diadem itu tidak pernah ada.
Raja telah mengarang cerita tentang seorang pengrajin perhiasan yang disembunyikannya di dalam istana untuk membuat diadem untuk hadiah ulang tahun Puan Ratu.
Sejujurnya, ia lupa. Sesederhana itu. Ia lupa akan ulang tahun Puan Ratu. Pada hari persiapan tentu saja ia mengingatnya, bagaimana tidak? Pekan Raya Ulang Tahun Puan Ratu direncanakan dua minggu sebelumnya oleh Ajudan. Dayang-dayang dan Garde telah sibuk mempersiapkan segalanya. Kereta-kereta untuk berparade keliling desa, makanan-makanan yang akan dibagi-bagikan, hiasan-hiasan istana, pesta bangsawan di dalam istana dengan makanan-makanan yang lebih mewah, dan segala keperluan Puan Ratu dari mulai perhiasan baru dan baju baru untuk pesta.
Tetapi saat itu sudah terlambat untuk mencari pengrajin terbaik dari yang terbaik untuk membuatkan Puan Ratu diadem. Ia telah mencoba mencarinya dengan bantuan pesuruh terpercayanya, namun pesuruh itu pun tak bisa menemukannya dalam waktu singkat. Waktu yang sempit membuatnya berpikir untuk berbohong. Ia akan mengatakan diademnya telah hilang dan mereka harus memesan diadem yang lain, maka semua orang pun selamat.
Namun ketika malam itu Puan Ratu berada di menara puncak dan menemukan Raja telah kehilangan diademnya, wanita itu mengamuk hebat. Mahkota kecil yang selalu disematkan di puncak kepalanya dilemparkannya, sarung tangan suteranya dilepas dan Puan Ratu mendorong Raja sampai ke bibir jendela.
“KAU BERBOHONG!” pekik Puan Ratu ketika menyudutkan Raja yang tak berdaya di bibir jendela. Raja yang ketakutan sudah kehilangan akal. Maka ia pun menutupi kebohongan itu dengan kebohongan lain.
“Aku bersumpah aku telah menyuruh pengrajin tua itu menyembunyikannya di puncak menara utara, di ambang jendela.” Raja menahan lengan Puan Ratu, yang menahan dadanya dengan kuat, agar ia sendiri tidak jatuh terjengkang.
“Jangan berani-berani lagi kau berbohong padaku!” Puan Ratu mendorong lebih jauh.
“Diadem itu bertatahkan berlian!” jerit Raja dengan nada meminta ampun dan kata-kata itu pun yang membuat Puan Ratu melemahkan ancaman. “Aku merancangnya sendiri, khusus untukmu, Ratuku. Diadem itu memiliki banyak berlian. Secantik dirimu!”
“Temukan diadem itu,” ujar istrinya dengan dingin sambil berjalan mundur. Matanya memandang tajam Raja lalu ia meninggalkan Raja di puncak menara sendirian.
Raja terduduk di lantai menara, lemah dan lemas. Ia telah berhasil mengelabui Puan Ratu, langkah selanjutnya menitah Ajudan mencari pengrajin terbaik dari yang terbaik dan membuatkan diadem baru dan mengatakan ia baru saja menemukan diadem itu.
Tetapi keesokan harinya Puan Ratu telah mengumumkan pada seluruh istana bahwa ia kehilangan diadem, hadiah dari Raja. Seseorang telah mencurinya dari menara utara, mereka harus menemukan diadem sekaligus pencurinya. Raja tidak memiliki waktu untuk mengajak Ajudan bekerja sama untuk mencari pengrajin perhiasan terbaik untuk membuat diadem baru. Kabar itu pun terus meluas dan ia tak bisa melakukan apa-apa selain terus membujuk Puan Ratu untuk membuat diadem baru dan berbohong tentang pembuat diadem yang menghilang.
Ia harus melakukannya. Ia harus berbohong demi keselamatannya sendiri. Kebohongan itu berlanjut dari satu kebohongan menuju ke kebohongan yang lain. Berawal dari ia menyembunyikan pengrajin diadem itu di bawah tanah di istana, sampai ia harus menyingkirkan pesuruhnya ke negeri jauh demi menyembunyikan fakta bahwa ia telah berusaha mencari pengrajin perhiasan dua minggu sebelum hari ulang tahun Puan Ratu. Ia tidak tahan dengan tatapan tajam Puan Ratu. Tatapan mata itu sama seperti bertahun-tahun lalu ketika ia kehilangan kekuasaannya, dan pada saat yang bersamaan menemukan dan kehilangan cinta sejatinya.
Beberapa tahun silam, bermula dari sekelompok dayang yang sudah tak lagi memiliki tenaga untuk mengikuti kegiatan Raja dan Ratu yang sangat beragam dan tanpa henti. Berkuda, berpesta, bermain croquet, berkeliling desa untuk meresmikan gedung serbaguna, memilih kain-kain untuk seluruh tirai dan seprai di istana, memilih dan mengukur kain-kain untuk baju-baju Ratu dan Raja, dan sejumlah kegiatan lainnya yang menuntut dayang-dayang mereka untuk bergerak lebih cepat dan cekatan mengurus segala keperluan Raja dan Ratu. Mereka sudah terlalu tua untuk bergerak mengisi bak mandi, menyiapkan baju ganti, mengikuti mereka membawa peralatan olahraga kesana-kemari dengan cepat. Ketika itulah Ajudan istana mendatangkan sekelompok dayang-dayang baru.
Saat itulah ketika dirinya bertemu dengan Lorra, seorang dayang yang datang dari negeri jauh. Gadis itu datang bersama dengan sekelompok dayang lainnya untuk mencari pekerjaan, menetap di desa bersama keluarganya dan mengabdi pada istana demi mendapatkan perlindungan hak tinggal di sana. Lorra gadis paling muda dengan tubuh penuh yang melekuk. Sikapnya yang canggung membuatnya sering melakukan banyak kesalahan. Puan Ratu memarahinya setiap saat dan gadis itu hanya akan menunduk malu, tidak tahu cara menjawab mau pun bertanya dengan benar karena bahasanya tidak fasih.
Raja tidak pernah menganggap gadis itu istimewa, karena siapa yang membutuhkan wanita lain jika dirinya sudah memiliki seorang wanita paling cantik di seluruh negeri dan menjadikannya seorang Raja. Tetapi ketika suatu sore ia mendengar keributan dari kamarnya, dengan segera ia berlari dan mendapati istrinya sedang melemparkan segala barang yang dimilikinya di atas tempat tidur ke arah Lorra.
“Apa yang terjadi?” Raja menahan tangan istrinya yang hampir saja melemparkan hiasan kayu berat dari meja di sebelah ranjang besar mereka.
“Dia sudah merusak gaunku!” Puan Ratu menjulurkan gaun terbaiknya dengan renda-renda dari benang emas dari atas ranjang. Gaun itu kini berlubang di berbagai tempat.
Raja menoleh memandang Lorra yang kini tertunduk dan dayang-dayang di sekitar mereka segera membereskan segala yang telah dilempar oleh Puan Ratu. Bahu gadis itu bergetar tapi tak ada yang berani mendekatinya, semua dayang-dayang sigap membersihkan kekacauan yang dibuat Puan Ratu.
Ketika Lorra mulai bergerak memunguti apa saja yang ada di dekatnya, seketika Puan Ratu menghampirinya dan menamparnya dengan keras, menyuruhnya keluar. Gadis itu menangis dan menggumamkan kata-kata yang tidak jelas dan berlari keluar. Seluruh dayang-dayang yang tersisa berkumpul di sekeliling Puan Ratu, menghiburnya dan membawakan apa saja yang bisa membuat Puan Ratu menghentikan amarahnya.