Ajudan istana berlari sepanjang koridor menuju Ruang Takhta seperti beberapa bulan lalu ketika ia akan mengumumkan penduduk desa menemukan diadem juga pencurinya. Kali ini ia berlari dengan perasaan khawatir, karena ia memiliki firasat hari-hari yang sudah berjalan sangat baik semenjak diadem yang hilang kembali ke istana akan dihantui awan kelabu sekali lagi.
Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada kerajaan itu, sepertinya mereka telah dikutuk dan tidak diizinkan untuk berbahagia. Pagi-pagi ia telah dibangunkan oleh Garde gerbang istana yang mengumumkan bahwa seorang pengembara datang ingin bertemu dengan Puan Ratu dan Tuan Raja.
Ketika ia telah sampai di depan pintu Ruang Takhta dengan ukiran rumit terbuat dari sepuhan emas, ia mengumumkan kedatangannya sendiri tanpa menyuruh Garde. Pintu terbuka dan Ajudan itu segera berlutut di hadapan Puan Ratu dan Tuan Raja yang sedang membaca permohonan-permohonan penduduk desa yang biasanya sudah ditulis ulang dan disusun dengan rapi.
“Maaf Yang Mulia, sahaya tidak bisa menunggu lagi,” ucap Ajudan itu tanpa menunggu salah satu dari Tuannya menyuruhnya bicara. “Seseorang datang dan ingin bertemu dengan Puan Ratu dan Tuan Raja.”
“Kami sibuk.” Puan Ratu menanggapi Ajudan itu dengan ketus dan sedikit jengkel dan Tuan Raja hanya melirik Puan Ratu dengan lirikan singkat dari sudut matanya.
“Maaf Yang Mulia Ratu, dia mengatakan telah menemukan diadem Puan Ratu yang asli.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Puan Ratu dan Tuan Raja mengangkat wajahnya dari kertas-kertas mereka dan memandang Ajudan itu dengan tatapan heran.
“Katakan padanya, dia sudah terlambat beberapa bulan yang lalu.” Puan Ratu mendengus kesal.
“Tetapi pengembara itu memaksa, Yang Mulia. Dia mengatakan dia bisa membuktikan bahwa miliknya adalah asli.”
“Dan kau percaya?” Puan Ratu mengangkat alisnya.
“Sahaya melihat diademnya, Yang Mulia. Dan surat dari seorang ahli perhiasan yang menyatakan bahwa diadem itu terbuat dari emas dan berlian asli.” Ajudan itu menunduk lebih dalam, takut melihat tatapan langsung Puan Ratu.
Raja melirik Puan Ratu, gelisah tergambar jelas di wajahnya. Ia tidak tahu apa lagi yang akan dilakukan istrinya pada orang-orang itu. Dirinya adalah korbannya yang pertama (yang diketahuinya) dan wanita yang dituduh pencuri itu yang kedua. Ia takut akan ada korban ketiga dan seterusnya jika kegilaan diadem ini tidak dihentikan.
“Suruh saja dia pergi, beri sedikit makanan atau uang untuk bekalnya pulang atau kembali mengembara, terserah.” Tuan Raja segera memberi perintah sebelum Puan Ratu sempat berpikir lebih jauh. Mereka sudah hidup tenang selama beberapa bulan, jangan sampai ketenangan itu kembali diusik.
“Tidak. Biarkan dia masuk.” Puan Ratu memutuskan.
“Kita tidak perlu mengurusi hal remeh seperti itu, Ratuku,” ujar Raja pada istrinya. “Kalau memang dia berbohong, memang apa yang bisa dilakukan? Semua orang menginginkan hadiah imbalan itu, dan mungkin ini hanya salah satu usahanya agar mendapatkan imbalannya.”
“Kirim saja ke penjara jika ia berbohong. Mudah bukan?” Puan Ratu mendengus dan kembali mengambil tumpukan catatannya dari meja di sebelah singgasananya, menandakan keputusannyalah yang harus dituruti.
“Baik, Yang Mulia.”
“Jangan lupa, panggil juga Tuan Woodenfield kemari untuk membuktikan omongan si pengembara gembel ini,” ujar Puan Ratu dengan tenang seakan ia baru saja memerintah Ajudan untuk mengecat kukunya dengan warna merah muda cerah.