Seorang pria tambun dengan kaki kecil berjalan tergesa melewati lorong-lorong istana di tengah malam. Ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk berlari secepat kakinya bisa membawanya. Ia mengecek jam sakunya sekali lagi dan tepat pada saat itu suara jam dari menara jam istana berdentang keras.
DONG. DONG. DONG...
Panik, ia mengabaikan napasnya yang tersenggal dan berlari menuju taman tengah di mana air mancur batu berada. Ia sudah setuju untuk bertemu di sana tepat pukul dua belas dengan seseorang di istana, dan kini ia telah terlambat karena suara bel dari menara istana baru selesai berdentang.
Tak lama, ia sampai di air mancur batu yang gelap gulita. Seseorang itu telah memberitahunya bahwa setiap jam dua belas malam, lampu-lampu obor di sekitarnya akan padam kehabisan minyak. Mereka hanya memiliki waktu lima belas menit sebelum Garde datang menyalakan kembali obor-obor itu.
“Kau terlambat!”
Seseorang menangkapnya dan berdesis kasar. Mereka jatuh terduduk di balik semak-semak.
“Maafkan sahaya, Tuan Ajudan,” sahut pria tambun itu dengan suara terengah. “Perut sahaya terlalu besar untuk diajak berlari seperti burung unta.”
“Peduli setan dengan perutmu!” Ajudan itu berbisik keras, sebagian ludahnya menyembur. “Apa yang kau inginkan, Tuan Woodenfield? Mengapa kau ingin bertemu diam-diam? Tak bisakah kita berbicara di tempat yang lebih lazim?”
“Tidak bisa, Tuan. Sahaya takut,” bisik Woodenfield hampir menyerupai rintihan anjing. “Sahaya ingin berhenti menjadi ahli perhiasan istana.”
Mata keduanya sudah terbiasa dengan gelap, kini mereka bisa melihat wajah masing-masing lawan bicara. Woodenfield benar-benar panik, matanya berkaca-kaca memantulkan cahaya bulan. Sementara Ajudan itu menatap Woodenfield dengan geram.
“Sahaya takut, Tuan. Tolong katakan saja Tuan tidak menyukai sahaya, sahaya takut kalau harus mengatakan langsung pada Puan Ratu sahaya mau berhenti.”