DIADEM

Al Szi
Chapter #14

EMPAT BELAS

Raja berjalan mondar-mandir di kamarnya ketika sore itu Puan Ratu harus pergi bermain croquet dengan para gadis bangsawan yang lain. Ia sedang memikirkan apa yang telah terjadi selama tiga bulan ini semenjak kematian Woodenfield, pembantaian penduduk desa.

Puan Ratu telah mengeksekusi lusinan penduduk desa yang entah mengapa memiliki diadem-diadem itu tanpa henti. Raja yakin seseorang tengah mempermainkannya, seseorang mengetahui kebohongan yang dibangunnya dan berusaha melakukan teror terhadap dirinya.

Di hari Woodenfield itu menggantung diri, dua lusin penduduk desa membawa diadem mereka dengan wajah yang penuh dengan pengharapan. Ia tahu apa yang akan dilakukan Puan Ratu dengan Garde-Gardenya yang tanpa hati itu, maka ia segera meninggalkan Ruang Takhta. Di balik pintu Ruang Takhta yang tebal, ia masih bisa mendengar dua lusin kapak berdesing di udara dan suara-suara menjijikan menyusul kemudian. Raja segera pergi dari sana menuju kamarnya dengan keringat dingin mengucur.

Ajudan keparat itu pun terlalu banyak omong! Seharusnya bisa dengan mudahnya Ajudan itu mengusir penduduk desa! Ajudan itu terlalu pengecut, terlalu mencintai penisnya!

Pintu kamar terbuka dan Raja dengan kaget mendongak. Puan Ratu memasuki ruangan sambil tersenyum tenang seakan-akan tidak ada darah yang berbau amis melumuri tubuhnya dan menetes dari gaun di belakangnya. Sambil memandangi dirinya di depan cermin, Puan Ratu melepas pakaiannya helai demi helai dan meninggalkannya begitu saja teronggok di lantai pualam kamar.

“Ratuku,” Raja membuka suaranya. “Tidaklah perlu kita membunuh semua penduduk desa itu.’

Puan Ratu menoleh pelan, dan seperti bernyanyi ia menjawab Raja.

“Memang tidak perlu kalau mereka tidak membawakan diadem-diadem palsu itu,” ujarnya sambil meneruskan langkahnya menuju kamar mandi. “Ayo kemari, Rajaku. Kita membasuh diri bersama, kau kelihatan sangat lelah. Akan kupijat otot-otot tegangmu.”

Puan Ratu berbalik dan mengulurkan tangannya pada Raja, yang dengan patuh bangkit dan menyambut tangan istrinya. Dan mereka menghabiskan banyak waktu di kamar mandi untuk membasuh tubuh Puan Ratu yang berlumuran darah kering dan mencuci rambutnya dengan tujuh sabun berbeda agar bau amis darah itu menghilang sepenuhnya.

Raja tak bisa membantah Puan Ratu. Ia hanya meneruskan membantu istrinya membasuh diri, berusaha menghindari melihat cermin. Karena bayang-bayang wanita pencuri itu masih terus ada di sana, menari bersama Puan Ratu, namun kali ini bayangan itu lebih sering menatapnya sambil menari.

Dan empat minggu setelah itu, dua lusin penduduk desa kembali berdatangan membawa diadem. Ajudan keparat itu melaporkan kedatangan mereka dan membawa mereka ke Ruang Takhta. Puan Ratu, yang seakan sudah menunggu saat-saat itu, menyiapkan tidak hanya meja panjang untuk mereka menyimpan diadem-diadem palsu mereka. Juru masak dan seluruh pelayan dari dapur membawakan meja panjang dan lusinan jenis makanan untuk menjamu penduduk desa.

Penduduk desa yang tidak mendapatkan keistimewaan listrik dan bahan makanan terbaik itu bersenang-senang, makan seperti kambing kelaparan, menghabiskan anggur-anggur merah pekat sampai mabuk.

“Biarkan mereka makan dengan puas,” bisik Puan Ratu ketika Raja menatapnya heran. “Ini adalah hidangan terakhir. Hidangan yang kau berikan pada para pengkhianat.”

“Mereka tidak mengkhianatimu!” bisik Raja, seketika hatinya mencelus. “Mereka hanya ingin memastikan diadem yang mereka temukan adalah milikmu yang hilang.”

“Dan mereka terus berdatangan membawa diadem-diadem palsu itu, padahal mereka tahu jika mereka tidak membawakan yang asli mereka akan dihukum.” Puan Ratu menggertakkan giginya.

“Mereka tidak tahu hukuman apa yang akan mereka dapatkan!”

“Dan mereka tetap datang. Sama saja seperti berjudi, jika mereka beruntung mereka akan menjadi bangsawan, jika kalah mereka akan terus mencoba sampai mereka melupakan segalanya karena mereka berharap bisa mendapatkan kekayaan secara tiba-tiba. Aku hanya menolong mereka untuk tidak melakukan kebiasaan buruk sejenis berjudi.” Puan Ratu tertawa sinis dan kembali menonton penduduk desa yang akan menemui ajalnya.

Raja, yang tidak tahan dengan segala kegilaan yang terjadi, meminta diri untuk beristirahat. Ia tidak bisa menyaksikan pembantaian itu lagi. Bayangan si wanita pencuri itu semakin hari semakin nyata, ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika ia menyaksikan pembunuhan lain lagi. Ia sudah cukup sesak tidur dengan si wanita pencuri itu duduk di atas dadanya sambil memeluk kepalanya.

Dan semakin hari ia menyadari wajah Puan Ratu semakin cantik, terlalu cantik sehingga sesekali ia mengira istrinya adalah iblis yang menjelma menjadi manusia. Semakin hari pula ia merasa semakin cemas, menghitung detik demi detik berlalu, menunggu kapankah penduduk desa itu akan kembali meminta mati.

Raja sangat cemas. Dua minggu telah berlalu semenjak hidangan terakhir yang berujung maut itu. Ia harus menghentikan semuanya dan Puan Ratu tidak boleh mengetahui bahwa dirinya lah yang menghentikan itu semua. Ia memandang ke luar jendela di mana ia bisa melihat berderet kastil yang ditinggali oleh bangsawan-bangsawan. Dan ia tahu siapa yang dijadikan bonekanya untuk menghentikan pergerakan penduduk desa, orang yang pertama kali membawa diadem terkutuk itu ke dalam istana.

Lihat selengkapnya