Kring Kring!! Bunyi bel sekolah yang selalu membuat para siswa dan siswi berlarian ke kelas masing-masing. Mirip seperti suara bel yang ada pada jam beker, hanya saja bentuknya lebih besar dan suaranya lebih kencang.
Semester baru di kelas XI, tidak sabar untuk segera lulus dan menjadi seorang mahasiswi. Khayalan yang tinggi sampai-sampai membuat suara Bu Citra yang memanggilku tidak terdengar sama sekali. “Raisa!” panggilnya dengan nada yang rendah. “Raisa!” kali ini suaranya agak naik.
Bu Citra adalah guru Matematika kami. Ia bukanlah tipe guru yang suka mengomel. Sebaliknya, guru muda kami adalah seorang wanita yang lembut tapi tegas. Sifat seperti itu yang membuat para siswa dan siswi segan. Bahkan hingga siswa ternakal di sekolah pun patuh kepadanya. Mereka menjadi jinak ketika Bu Citra mengajar. Tidak ada satu pun tugas yang mereka lewatkan di pelajaran Matematika.
“Ca, Ca!” panggil Rina dengan nada berbisik. Lengannya menyenggol pelan lenganku. Isyarat bahwa Bu Citra sudah memanggilku dengan nada yang agak tinggi. Namun aku tetap saja tidak mendengar. Bagaimana mau dengar? Lamunanku terlalu indah untuk diakhiri.
“Ca!” tangan Rina mencubit lenganku. Membuatku terkejut. Aku reflek berdiri dengan menahan sakit bekas cubitannya sembari berkata, “Iya Bu, siap!” Semua tertawa melihat apa yang aku lakukan. “Siap apa Ca? Siap gerak? Hahaha,” kata salah satu siswa di kelasku, lalu yang lainnya ikut tertawa. Rina segera menarik lenganku mengarahkanku untuk duduk kembali.
Rina Adinda satu-satunya teman dekat perempuanku. Kami sudah berteman sejak duduk di bangku SD. Alaramku ketika melamun di kelas. Kasihannya dia punya teman yang super banyak tingkah sepertiku. Tapi, ia tetap tahan selama bertahun-tahun dan tidak pernah mengeluhkan itu. Karena Rina juga sama sepertiku. Bedanya ia tidak pernah memalukan dirinya sendiri seperti apa yang aku lakukan sekarang ini.
“Kamu itu Raisa melamun saja kerjaannya,” keluh guru kebanggaan kita semua. “Sekarang tolong ambilkan buku paket di perpustakaan yang cukup untuk teman-teman sekelas. Rina tolong bantu Raisa ya,” perintah Bu Citra. Kami menjawab nya bersamaan, “Baik Bu.”
Jangan kalian sangka karena aku dan Rina berteman dekat, lalu dia akan baik-baik saja diperintahkan Bu Citra untuk membantuku mengambil buku ke perpustakaan. Tidak sama sekali. “Kapan sih Ca, lu gak bikin susah gua?” kata Rina si pengeluh hebat. Julukan itu sangat pantas untuknya saat ini. Padahal buku yang dibawanya tidak sebanyak buku di atas tanganku. Tumpukan buku tebal, banyak, berada di depan dadaku. Tersusun sampai tingginya sama dengan kepalaku. Kami berjalan pelan, karena takut kalau bukunya jatuh.
Di tengah perjalanan kami ke kelas, di koridor dekat ruangan kepala sekolah tepatnya, ada siswa yang menabrakku dari belakang. Bukannya membantu atau paling tidak minta maaf, tapi ia malah menyelonong pergi. “Aduh. Eh liat-liat dong kalo jalan,” omelku kepada siswa itu dengan suara yang agak kencang, tapi ia sudah hampir tidak terlihat saat aku bicara. Ia masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.
Langakahnya besar, gerakan jalannya juga cepat. Sepertinya dia sedang terburu-buru. Tapi tetap tidak bisa dibiarkan. Siswa itu harus minta maaf, titik.
“Ehhhh udah-udah Ca sini gue bantuin,” Rina menarik lenganku yang hendak mengejar siswa tadi.
“Tapi dia harus minta maaf lah Rin gak bisa kayak gitu. Maen kabur-kabur aja,” aku agak emosi.
“Ya trus lu mau ngapain? Mau masuk ke ruang kepsek juga? Wahh jangan deh Ca, jangan malu-maluin gua terus dong,” keluhnya.
Akhirnya aku pun mengalah. Memilih merapikan buku yang jatuh tadi bersama Rina dan lekas kembali ke kelas. “Awas aja tuh orang kalo ketemu,” kataku dalam hati.
Sesampainya di kelas kami langsung membagikan buku yang kami bawa ke teman-teman sekelasku, lalu Bu Citra memberikan kami tugas dari buku itu. Semuanya sunyi sepi, fokus menegerjakan tugas yang diberikan.
Aku masih penasaran dengan siswa tadi, wajahnya tidak sempat terlihat. Buku yang jatuh dan tangan Rina yang menarikku membuat fokusku untuk melihat siswa itu hilang. Sekarang mungkin aku memang sedang mengerjakan tugas, tapi sebenarnya pikiranku sedang tidak di tempat.
“Ca! Ca!” panggilan Rina mengejutkanku. Matanya terus tertuju ke luar jendela kelas. “Ada apaan sih?” tanyaku. Namun ia tidak menjawab. Mataku langsung melihat apa yang dilihatnya, tapi tidak bisa karena tangannya bergegas berusaha menutupi mataku.
“Jangan Ca, jangan lihat! Merem Ca!” ucap Rina dengan tangannya yang terus berusaha menutup mataku.
“Anak-anak.! Harap tenang!!” kata Bu Citra.
“Rin apaan si lu??” kami mulai ribut.
“Jangan Ca!” elaknya dengan tangan yang masih berusaha menutup mataku.
“Raisa.! Rina.! Kalian kenapa?” akhirnya kami ditegur. Bersamaan dengan itu semua pasang mata di kelas langsung terarah kepada kami.
“Maaf Bu,” ucap kami secara bersamaan.
Hari ini sudah dua kali aku mempermalukan diriku. Pertengkaran kecil barusan membuat kami menunduk malu, tidak berani memandang ke depan. Guru matematika kami saat ini sedang bersama seorang siswa, entah siapa.