Pulang, makan siang, berganti pakaian serta menyiapkan buku-buku yang diperlukan untuk belajar bersama dengan ketiga temanku. Setelah semua siap aku keluar kamar dan pergi ke rumah Iwan. Sebelum pergi aku melirik sebentar ke sebuah foto yang di dalamnya terdapat gambar Ibu dan Bapak, lalu lekas pergi.
Senyum di sudut bibir mereka adalah sumber semangat terbesarku dalam hidup. Ibuku seorang wanita yang kuat, penyayang tapi agak sedikit galak. Semenjak kepergian Bapak ia menjadi tulang punggung keluarga. Bekerja keras untuk membesarkanku, juga satu-satunya panutan yang aku contoh ketegarannya. Meskipun sibuk bekerja, tapi aku mengerti itu semua dilakukan untukku, anak semata wayangnya. Maka dari itu aku akan selalu berusaha menjadi anak yang membanggakan untuknya.
“Bibi, aku pergi dulu yah,” pamitku kepada Bibi yang sedang menyiram tanaman. Rumahku tidak besar, cukup sederhana. Ada halaman kecil yang dipenuhi tanaman bunga di depannya. Bibi adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ini sejak lama, bahkan sebelum aku lahir.
“Iya Neng. Mau ke rumah Mas Iwan kan?” katanya memastikan.
“Iya Bi,” jawabku sembari senyum.
“Ya sudah Neng hati-hati yah,” pesannya padaku.
“Siap Bi,” aku pergi ke rumah Iwan dengan mengendarai motor. Rumahnya tidak terlalu jauh, tapi kalau jalan kaki bisa menempuh waktu selama satu jam. Bisa-bisa aku telat jika setiap belajar bersama harus pergi dengan berjalan kaki.
Setiba di teras rumah Iwan aku membuka helmet dan berjalan ke dalam. Seperti biasa, karena Mama Iwan adalah seorang ibu rumah tangga ia selalu ada di rumah. Ialah yang mebukakan pintu saat aku datang. Baru saja tanganku hendak mengetuk pintu.
“Eh Ica,” sapa Mama Iwan yang sedang membawa sesuatu di dalam kantong plastik yang besar. Aku membalasnya dengan senyuman.
“Tante mau kemana, ko bawa kantong plastik besar banget?” tanyaku pada wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan muda itu.
“Oh, ini baju-baju Tante yang udah lama Ca. Mau disumbangin ke panti asuhan punya temen Tante,” jelasnya.
“Hm Tante mau dibantu gak? Itu banyak banget lo,” tawarku padanya sambil menjulurkan tanganku.
Sebelum sampai tanganku pada kantong tersebut, terdengar suara klakson motor dari depan rumah. Kami melihatnya bersamaan. Ternyata jasa ojek online yang sudah dipesan oleh Mama Iwan.
“Tuh ojeknya udah dateng. Tante kesana dulu yah mau titip baju ini,” katanya.
“Iya Tante,” sahutku.
“Kamu masuk aja yah sudah di tunggu temen-temen tuh di dalem nanti Tante bikinin kue yang enak,” lanjut perkataan Mama Iwan, lalu dengan cepat kutanggapi, “Loh, Tante gak ke panti itu sekarang?”
“Enggak. Masih mau bikin kue dulu untuk dibawa ke sana sama untuk kalian juga kan. Yaudah masuk Ca,” jawabnya.
“Oke Tante Ica masuk yah,” izinku untuk segera masuk ke dalam.
“Iya,” katanya, lalu Mama Iwan berjalan mendekati jasa ojek online yang sudah datang tadi. Sedangkan aku, tentu saja masuk ke dalam dan menutup pintu.
Mama Iwan yang kami panggil Tante selalu ramah kepada siapapun. Ia juga wanita lembut yang tentunya tidak pernah marah. Satu hal lagi yang paling kami suka dari Mama Iwan, yaitu handal sekali dalam membuat kue, jenis apa pun. Itulah yang membuat kami betah berlama-lama belajar di rumahnya.
Biasanya sambil menunggu personil lengkap, kami bermain sebuah permainan. Jika sudah bermain pastilah akan sangat berisik, namun tidak akan terdengar sampai keluar karena ruangan tempat kami belajar kedap suara.
Aku membuka pintu geser yang menjadi pemisah antara ruang keluarga dan ruang tamu. Aneh, hari ini mereka tidak berisik dan tampak seperti sedang berfikir semua. Aku segera menyatu, duduk di sebelah Aji dan Rina. Membuka tasku perlahan sambil melirik aneh mereka satu per satu.
“Kenapa sih Rin?” kataku sambil menyenggol pelan lengan Rina.
“Itu si Adit bikin tebak-tebakan,” jawabnya.
“Ah, udahlah. Ini kan Ica udah dateng yuk belajar aja,” peralihan Aji karena sudah menyerah mencari jawaban dari tebak-tebakan.
“Iya iya bener tuh,” samber Rina girang.
“Ah payah ni, masa gitu aja nyerah,” ejek Aditya personil baru kami dengan gayanya yang tengil. Ih apaan si ini orang sok asik banget dah, aku protes dalam hati.